Oleh Job Palar [Wartawan Sinar Harapan]
Sumber:http://eklesia-sinar.blogspot.com/2004/06/nyanyian-seorang-gorga.html
Nunga leleng hutadingkon tano hatubuankon,
laho ahu mangaranto tu na dao.
arga do bona ni pinasa
(Sudah lama kutinggalkan tanah kelahiranku,
aku pergi merantau ke tempat yang jauh.
Tanah kelahiranku inilah (ternyata) yang paling berharga)
Selanjutnya dengan bergaya, dia berjalan. Hendak ditunjukkan bahwa dia baru saja melanglang buana dari Eropa sana. Ada kawan memanggil:
Gorga, Gorga. Ho doi?
(Gorga, Gorga. Kaukah itu?)
Sejak itulah, Bonar Gultom memiliki nama baru, Gorga. Adegan di atas terjadi di sebuah pertunjukan di Kota Medan, pada 1969. Untuk pertama kalinya, Bonar Gultom muda diminta membuat sebuah pertunjukan besar berupa opera rakyat dengan memanfaatkan seni, musik, dan budaya Batak sebagai latar belakang.
Pertunjukan itu berjudul "Arga Do Bona Ni Pinasa", yang menampilkan sebuah kisah tentang perbenturan budaya yang pada masa itu memang sedang hangat-hangatnya menjadi tema sosial. Alkisah seorang pemuda yang meningkat dewasa, tapi merasa bosan dengan semua yang ada di sekelilingnya. Dia berusaha untuk meninggalkan semua itu dan berhasil. Dia melanglang buana, merantau mencari pengalaman, dan melihat hal-hal yang baru yang menurut pengertiannya semula pasti lebih bagus dari tanah asalnya. Pemuda bernama Gorga ini ternyata tak sanggup mengingkari kenyataan, hujan emas di negeri orang lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Bagaimana pun keadaannya, negeri sendiri tetaplah yang terbaik.
"Pemuda bernama Gorga itu saya yang ciptakan, dan saya yang perankan sendiri. Saya harus mengarang ceritanya sendiri berikut lagu-lagunya. Leila Sitompul memerankan sebagai kekasih Gorga, bernama Marlinang. Keterusanlah sampai sekarang si Marlinang itu menjadi istri saya," Bonar Gultom berkisah dengan wajah cerah. "Sampai sekarang istri saya masih disapa `Ibu Marlinang' dan saya `Pak Gorga'."
Bonar "Gorga" Gultom mengisahkan dengan penuh semangat bagaimana dia harus menciptakan gerak dan mempersiapkan panggung dengan dibantu oleh 120 orang anggota gereja. Mulai dari situlah timbul rasa kepercayaan diri. Anugerah yang diberikan Tuhan, menyanyi dan mencipta lagu, makin disadarinya. Bonar mulai berani memimpin paduan
suara di gereja. Pengakuannya, bakat menyanyi turun dari sang ibu. Hasrat menyanyi Bonar kecil yang meluap-luap melahirkan kisah-kisah nan unik. Suatu hari, saat ia sedang belajar di ruang kelasnya di Kelas 1 HIS (Hollands Inlandsche School), terdengarlah di ruang sebelah murid- murid sedang belajar bernyanyi. "Tanpa sadar, saya ikut nimbrung, nyanyi keras-keras. Guru saya kaget. Dia ingin marah, tapi tak jadi, mungkin karena suara saya yang bagus," Bonar terbahak.
"Tapi akibat peristiwa itu, saya jadi sering maju ke depan kelas untuk bernyanyi." Yang paling berkesan baginya, adalah peristiwa di Siborong-borong saat Jepang berhasil mengusir Belanda dan ganti berkuasa, tahun 1942. Saat itu, Bonar berumur delapan tahun. Tentara-tentara Jepang datang untuk "menculik" dirinya. Latar belakang "penculikan" tak lain hanya karena tentara-tentara itu senang mendengarkan dia bernyanyi. Bocah bernama Bonar ini dibawa keliling-keliling kota, ke restoran- restoran. Dia dinaikkan ke atas meja dan disuruh menyanyi lagu apa saja, baik itu lagu-lagu Batak, lagu-lagu gereja, maupun lagu berbahasa Jepang.
"Waktu itu yang ketakutan ibu saya. Saya sendirian kan nggak mengerti rasa takut. Jepang-jepang itu suruh saya menyanyi, karena saya suka, ya, menyanyilah saya," katanya. "Tapi ibu saya nggak kehilangan akal. Dia suruh anak-anak muda kampung untuk mengikuti Jepang-jepang itu." Bonar kecil begitu menikmati semua petualangan yang terjadi hanya karena kegemarannya bernyanyi. Sebaris-dua baris lagu berbahasa Jepang masih diingatnya. Bonar Gultom tak pernah terpikir sebelumnya mampu mencipta lagu. Ia menganggap kemampuan itu di luar jangkauannya.
"Saya mulai mencipta lagu setelah majelis gereja dan pimpinan GKPI datang meminta saya membuat pertunjukan tentang Gorga itu. Mereka meminta saya membuat suatu pertunjukan yang jangan bersifat gereja agar cakupannya luas, padahal itu acara cari dana untuk gereja," katanya. "Anehnya, saya rencanakan itu semua nggak sampai satu bulan. Entah kenapa, saya begitu terinspirasi."
Prestasi dan Kesetiaan
Prestasi akademik Bonar Gultom sangat baik, terutama untuk bidang penguasaan bahasa. Bonar menguasai bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Sempat pula ia mendapat nilai sepuluh untuk bahasa Jawa Kuna, namun sekarang yang dia ingat hanya satu-dua kata saja. Setamat SMA di Medan, Bonar Gultom harus menghadapi tantangan yang cukup berat. Belum jelas baginya, hendak ke manakah kaki ini akan melangkah selanjutnya.
"Bapak saya pensiun dari camat, dana terhenti. Tapi terus terang, Tuhan itu sayang sama saya. Saya merasakan betul itu," kata Bonar. Prestasi yang sangat bagus di sekolah ditambah kemampuan menyanyi yang makin terasah membuat Bonar mendapat perhatian yang begitu besar dari para guru. Salah satu gurunya bertanya,"Bonar, kau mau ke mana setelah lulus SMA?"
"Nggak tahu, Pak"
"Bagaimana kalau kau masuk sekolah guru saja."
"Saya kurang minat jadi guru, Pak."
"Kalau begitu kamu mau ke mana?"
"Kalau boleh, saya mau kerja saja, Pak."
Entah apa yang menggerakkan para guru di SMA itu. Mereka kemudian berkumpul untuk membuat surat lamaran dalam bahasa Belanda, lalu dikirimkan ke seluruh perusahaan-perusahaan di Medan. "Eh, berhasil! Ada maskapai perkebunan, namanya NV Vereenigde Deli Maatschappijen, yang memanggil saya untuk wawancara," Bonar berkisah masih dengan nada terheran-heran.
Namun, garis hidupnya menyiratkan hal lain. Wawancara itu bukan sekadar wawancara penerimaan pegawai. "Kau kok masih muda malah mau kerja?" si Belanda yang mewawancarai Bonar bingung. Berceritalah Bonar bahwa orang tuanya sudah tak sanggup membiayainya lagi. Sekonyong-konyong, muncullah pertanyaan yang menjadi tonggak penting kehidupan seorang Bonar Gultom. "Kau masih mau sekolah?" Belanda itu bertanya. "Aku mau!" Bonar menjawab mantap.
"Kami rasa kami membutuhkan seorang ekonom, kau mau?"
"Mau sekali!"
Waktu itu, tahun 1956. Bonar masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Salemba. Diakuinya, masuk universitas saat itu memang tidak sesulit sekarang. Dia cukup memperlihatkan ijazah SMA-nya yang dihiasi angka-angka akademik yang bagus itu, langsung diterima "Pembayaran Rp 24.000 per tahun langsung dibayar si Belanda itu.
Saat itulah, saya semacam menjalani ikatan dinas. Si Belanda ini hebat. Dia menghitung semua dengan terperinci apa saja yang saya butuhkan, sampai hal-hal kecil," kata Bonar. Bonar menunjukkan kesetiaan yang luar biasa atas segala yang diberikan perusahaan yang membiayainya itu. Riwayat kariernya tercatat dengan jelas. Perusahaan tempat Bonar mengabdi memang diambil alih oleh pemerintah Indonesia, tapi Bonar tetap berkarya di sana, sampai masa kerjanya habis di Bandung. "Saya menciptakan lagu Sunda waktu saya di sana," katanya sambil mempraktikkan kefasihannya berbahasa Sunda.
Arbab
Kemampuannya makin terasah saat dia kuliah. Bonar mendapat kesempatan menjadi asisten dari dedengkot paduan suara gereja, E.L. Pohan. "Kita konser tiap tahun. Pak Pohan mempercayai saya untuk memimpin di setengah konser. Kalau dia menjadi dirigen lagu-lagu gereja, giliran saya lagu-lagu daerah. Jadi saya asisten dirigen dia," kata Bonar. Bonar Gultom juga memperlihatkan kehebatan teknik bernyanyi dengan menyabet beberapa gelar dalam festival-festival bergengsi. Sebut saja, Juara I Menyanyi Seriosa Pekan Kesenian Mahasiswa Seluruh Indonesia (1958 dan 1960) dan Juara I Menyanyi Seriosa Bintang RRI baik di Medan maupun di Jakarta (1968). Bonar Gultom mengaku tidak memiliki bekal formal dalam menciptakan lagu atau mengaransir lagu. "Cuma, saya memiliki kepekaan jika mendengar suatu lagu. Saya langsung bisa dapat nada untuk suara sopran, alto, tenor, atau bas, apalagi kalau lagunya bagus." Bonar Gultom telah menciptakan sekitar 120 lagu. Lagu-lagu ciptaannya menjadi langganan lagu wajib dalam berbagai lomba paduan suara. Lagu Bonar Gultom yang melegenda di kalangan paduan suara adalah Arbab. Lagu itu begitu kental dengan nuansa Batak, dengan nada yang lincah dan melonjak-lonjak. Harmonisasi pembagian suaranya-sopran, alto, tenor, bas-begitu enak terdengar. Jika paduan suara menyanyikan dengan suara yang tepat mengena pada nada, akan terasa seperti orkestra. Harmonisasi yang indah inilah yang membuat lagu Arbab menjadi semacam "lagu wajib" bagi paduan-paduan suara gereja, bukan saja dari tanah Batak. "Saya sendiri nggak bisa bilang persis dari mana datangnya ide lagu itu, tapi saya yakin dari Tuhan," katanya."Lagu Arbab saya ciptakan dalam perjalanan menuju TVRI untuk rekaman kaset. Lokasinya waktu itu di Kesawan".
Seorang saudagar Cina begitu ingin merekam suara Bonar dan kawan- kawan. Baru ada beberapa lagu. Bonar berpikir keras di perjalanan. "Lagu apa yah buat ditambah di rekaman?" Tiba-tiba, berloncatan nada-nada disertai syair dari mulut Bonar.
Da tama endehononku
pamujionku di Debatangku
Ooooo
Lagu yang kemudian menjadi "lagu kebangsaan" paduan-paduan suara itu pun terlahir ke Bumi. Paduan-paduan suara gereja banyak yang menyanyikan lagu itu namun sudah dalam versi bahasa Indonesia. "Edisi" bahasa Indonesia pun tetap hadir dengan sangat baik dan tak kehilangan "roh"-nya. Tak lain karena Bonar sendirilah yang melakukan penterjemahan.Tanggal 30 Juni 2004, Bonar Gultom genap berusia 70 tahun. Sebuah perayaan untuk menghormati dedikasinya sedang disiapkan oleh handai taulan.
Bernyanyi menjadi suatu anugerah yang mengiringi dan sering kali mengubah perjalanan hidupnya. Dengan penuh rasa syukur, Bonar Gultom bertutur, "Tuhan telah mengizinkan saya menikmati hidup ini, sehat, masih bisa saya mencipta lagu, mengajarkan, dan menyanyikannya. Saya juga memiliki keluarga yang horas, selamat, sehat, dan cucu yang
sehat-sehat untuk saya mengisi hari tua ini." Pencapaian Bonar Gultom sampai saat ini sangat tepat tergambar lewat syair lagunya sendiri, Arbab, versi bahasa Indonesia:
Jiwaku ingin bernyanyi,
serta tubuhku menari-nari
Menunjukkan sukacita
Atas kasih Tuhan kepadaku
Dan, Bonar Gultom pun terus bernyanyi..