01 July 2004

Nyanyian Seorang Gorga
Oleh Job Palar [Wartawan Sinar Harapan]
Sumber:http://eklesia-sinar.blogspot.com/2004/06/nyanyian-seorang-gorga.html

Nunga leleng hutadingkon tano hatubuankon,
laho ahu mangaranto tu na dao.
arga do bona ni pinasa

(Sudah lama kutinggalkan tanah kelahiranku,
aku pergi merantau ke tempat yang jauh.
Tanah kelahiranku inilah (ternyata) yang paling berharga)

Selanjutnya dengan bergaya, dia berjalan. Hendak ditunjukkan bahwa dia baru saja melanglang buana dari Eropa sana. Ada kawan memanggil:

Gorga, Gorga. Ho doi?
(Gorga, Gorga. Kaukah itu?)

Sejak itulah, Bonar Gultom memiliki nama baru, Gorga. Adegan di atas terjadi di sebuah pertunjukan di Kota Medan, pada 1969. Untuk pertama kalinya, Bonar Gultom muda diminta membuat sebuah pertunjukan besar berupa opera rakyat dengan memanfaatkan seni, musik, dan budaya Batak sebagai latar belakang.

Pertunjukan itu berjudul "Arga Do Bona Ni Pinasa", yang menampilkan sebuah kisah tentang perbenturan budaya yang pada masa itu memang sedang hangat-hangatnya menjadi tema sosial. Alkisah seorang pemuda yang meningkat dewasa, tapi merasa bosan dengan semua yang ada di sekelilingnya. Dia berusaha untuk meninggalkan semua itu dan berhasil. Dia melanglang buana, merantau mencari pengalaman, dan melihat hal-hal yang baru yang menurut pengertiannya semula pasti lebih bagus dari tanah asalnya. Pemuda bernama Gorga ini ternyata tak sanggup mengingkari kenyataan, hujan emas di negeri orang lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Bagaimana pun keadaannya, negeri sendiri tetaplah yang terbaik.

"Pemuda bernama Gorga itu saya yang ciptakan, dan saya yang perankan sendiri. Saya harus mengarang ceritanya sendiri berikut lagu-lagunya. Leila Sitompul memerankan sebagai kekasih Gorga, bernama Marlinang. Keterusanlah sampai sekarang si Marlinang itu menjadi istri saya," Bonar Gultom berkisah dengan wajah cerah. "Sampai sekarang istri saya masih disapa `Ibu Marlinang' dan saya `Pak Gorga'."

Bonar "Gorga" Gultom mengisahkan dengan penuh semangat bagaimana dia harus menciptakan gerak dan mempersiapkan panggung dengan dibantu oleh 120 orang anggota gereja. Mulai dari situlah timbul rasa kepercayaan diri. Anugerah yang diberikan Tuhan, menyanyi dan mencipta lagu, makin disadarinya. Bonar mulai berani memimpin paduan
suara di gereja. Pengakuannya, bakat menyanyi turun dari sang ibu. Hasrat menyanyi Bonar kecil yang meluap-luap melahirkan kisah-kisah nan unik. Suatu hari, saat ia sedang belajar di ruang kelasnya di Kelas 1 HIS (Hollands Inlandsche School), terdengarlah di ruang sebelah murid- murid sedang belajar bernyanyi. "Tanpa sadar, saya ikut nimbrung, nyanyi keras-keras. Guru saya kaget. Dia ingin marah, tapi tak jadi, mungkin karena suara saya yang bagus," Bonar terbahak.

"Tapi akibat peristiwa itu, saya jadi sering maju ke depan kelas untuk bernyanyi." Yang paling berkesan baginya, adalah peristiwa di Siborong-borong saat Jepang berhasil mengusir Belanda dan ganti berkuasa, tahun 1942. Saat itu, Bonar berumur delapan tahun. Tentara-tentara Jepang datang untuk "menculik" dirinya. Latar belakang "penculikan" tak lain hanya karena tentara-tentara itu senang mendengarkan dia bernyanyi. Bocah bernama Bonar ini dibawa keliling-keliling kota, ke restoran- restoran. Dia dinaikkan ke atas meja dan disuruh menyanyi lagu apa saja, baik itu lagu-lagu Batak, lagu-lagu gereja, maupun lagu berbahasa Jepang.

"Waktu itu yang ketakutan ibu saya. Saya sendirian kan nggak mengerti rasa takut. Jepang-jepang itu suruh saya menyanyi, karena saya suka, ya, menyanyilah saya," katanya. "Tapi ibu saya nggak kehilangan akal. Dia suruh anak-anak muda kampung untuk mengikuti Jepang-jepang itu." Bonar kecil begitu menikmati semua petualangan yang terjadi hanya karena kegemarannya bernyanyi. Sebaris-dua baris lagu berbahasa Jepang masih diingatnya. Bonar Gultom tak pernah terpikir sebelumnya mampu mencipta lagu. Ia menganggap kemampuan itu di luar jangkauannya.

"Saya mulai mencipta lagu setelah majelis gereja dan pimpinan GKPI datang meminta saya membuat pertunjukan tentang Gorga itu. Mereka meminta saya membuat suatu pertunjukan yang jangan bersifat gereja agar cakupannya luas, padahal itu acara cari dana untuk gereja," katanya. "Anehnya, saya rencanakan itu semua nggak sampai satu bulan. Entah kenapa, saya begitu terinspirasi."

Prestasi dan Kesetiaan
Prestasi akademik Bonar Gultom sangat baik, terutama untuk bidang penguasaan bahasa. Bonar menguasai bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Sempat pula ia mendapat nilai sepuluh untuk bahasa Jawa Kuna, namun sekarang yang dia ingat hanya satu-dua kata saja. Setamat SMA di Medan, Bonar Gultom harus menghadapi tantangan yang cukup berat. Belum jelas baginya, hendak ke manakah kaki ini akan melangkah selanjutnya.

"Bapak saya pensiun dari camat, dana terhenti. Tapi terus terang, Tuhan itu sayang sama saya. Saya merasakan betul itu," kata Bonar. Prestasi yang sangat bagus di sekolah ditambah kemampuan menyanyi yang makin terasah membuat Bonar mendapat perhatian yang begitu besar dari para guru. Salah satu gurunya bertanya,"Bonar, kau mau ke mana setelah lulus SMA?"
"Nggak tahu, Pak"
"Bagaimana kalau kau masuk sekolah guru saja."
"Saya kurang minat jadi guru, Pak."
"Kalau begitu kamu mau ke mana?"
"Kalau boleh, saya mau kerja saja, Pak."
Entah apa yang menggerakkan para guru di SMA itu. Mereka kemudian berkumpul untuk membuat surat lamaran dalam bahasa Belanda, lalu dikirimkan ke seluruh perusahaan-perusahaan di Medan. "Eh, berhasil! Ada maskapai perkebunan, namanya NV Vereenigde Deli Maatschappijen, yang memanggil saya untuk wawancara," Bonar berkisah masih dengan nada terheran-heran.

Namun, garis hidupnya menyiratkan hal lain. Wawancara itu bukan sekadar wawancara penerimaan pegawai. "Kau kok masih muda malah mau kerja?" si Belanda yang mewawancarai Bonar bingung. Berceritalah Bonar bahwa orang tuanya sudah tak sanggup membiayainya lagi. Sekonyong-konyong, muncullah pertanyaan yang menjadi tonggak penting kehidupan seorang Bonar Gultom. "Kau masih mau sekolah?" Belanda itu bertanya. "Aku mau!" Bonar menjawab mantap.

"Kami rasa kami membutuhkan seorang ekonom, kau mau?"
"Mau sekali!"
Waktu itu, tahun 1956. Bonar masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Salemba. Diakuinya, masuk universitas saat itu memang tidak sesulit sekarang. Dia cukup memperlihatkan ijazah SMA-nya yang dihiasi angka-angka akademik yang bagus itu, langsung diterima "Pembayaran Rp 24.000 per tahun langsung dibayar si Belanda itu.

Saat itulah, saya semacam menjalani ikatan dinas. Si Belanda ini hebat. Dia menghitung semua dengan terperinci apa saja yang saya butuhkan, sampai hal-hal kecil," kata Bonar. Bonar menunjukkan kesetiaan yang luar biasa atas segala yang diberikan perusahaan yang membiayainya itu. Riwayat kariernya tercatat dengan jelas. Perusahaan tempat Bonar mengabdi memang diambil alih oleh pemerintah Indonesia, tapi Bonar tetap berkarya di sana, sampai masa kerjanya habis di Bandung. "Saya menciptakan lagu Sunda waktu saya di sana," katanya sambil mempraktikkan kefasihannya berbahasa Sunda.

Arbab
Kemampuannya makin terasah saat dia kuliah. Bonar mendapat kesempatan menjadi asisten dari dedengkot paduan suara gereja, E.L. Pohan. "Kita konser tiap tahun. Pak Pohan mempercayai saya untuk memimpin di setengah konser. Kalau dia menjadi dirigen lagu-lagu gereja, giliran saya lagu-lagu daerah. Jadi saya asisten dirigen dia," kata Bonar. Bonar Gultom juga memperlihatkan kehebatan teknik bernyanyi dengan menyabet beberapa gelar dalam festival-festival bergengsi. Sebut saja, Juara I Menyanyi Seriosa Pekan Kesenian Mahasiswa Seluruh Indonesia (1958 dan 1960) dan Juara I Menyanyi Seriosa Bintang RRI baik di Medan maupun di Jakarta (1968). Bonar Gultom mengaku tidak memiliki bekal formal dalam menciptakan lagu atau mengaransir lagu. "Cuma, saya memiliki kepekaan jika mendengar suatu lagu. Saya langsung bisa dapat nada untuk suara sopran, alto, tenor, atau bas, apalagi kalau lagunya bagus." Bonar Gultom telah menciptakan sekitar 120 lagu. Lagu-lagu ciptaannya menjadi langganan lagu wajib dalam berbagai lomba paduan suara. Lagu Bonar Gultom yang melegenda di kalangan paduan suara adalah Arbab. Lagu itu begitu kental dengan nuansa Batak, dengan nada yang lincah dan melonjak-lonjak. Harmonisasi pembagian suaranya-sopran, alto, tenor, bas-begitu enak terdengar. Jika paduan suara menyanyikan dengan suara yang tepat mengena pada nada, akan terasa seperti orkestra. Harmonisasi yang indah inilah yang membuat lagu Arbab menjadi semacam "lagu wajib" bagi paduan-paduan suara gereja, bukan saja dari tanah Batak. "Saya sendiri nggak bisa bilang persis dari mana datangnya ide lagu itu, tapi saya yakin dari Tuhan," katanya."Lagu Arbab saya ciptakan dalam perjalanan menuju TVRI untuk rekaman kaset. Lokasinya waktu itu di Kesawan".

Seorang saudagar Cina begitu ingin merekam suara Bonar dan kawan- kawan. Baru ada beberapa lagu. Bonar berpikir keras di perjalanan. "Lagu apa yah buat ditambah di rekaman?" Tiba-tiba, berloncatan nada-nada disertai syair dari mulut Bonar.
Da tama endehononku
pamujionku di Debatangku
Ooooo

Lagu yang kemudian menjadi "lagu kebangsaan" paduan-paduan suara itu pun terlahir ke Bumi. Paduan-paduan suara gereja banyak yang menyanyikan lagu itu namun sudah dalam versi bahasa Indonesia. "Edisi" bahasa Indonesia pun tetap hadir dengan sangat baik dan tak kehilangan "roh"-nya. Tak lain karena Bonar sendirilah yang melakukan penterjemahan.Tanggal 30 Juni 2004, Bonar Gultom genap berusia 70 tahun. Sebuah perayaan untuk menghormati dedikasinya sedang disiapkan oleh handai taulan.

Bernyanyi menjadi suatu anugerah yang mengiringi dan sering kali mengubah perjalanan hidupnya. Dengan penuh rasa syukur, Bonar Gultom bertutur, "Tuhan telah mengizinkan saya menikmati hidup ini, sehat, masih bisa saya mencipta lagu, mengajarkan, dan menyanyikannya. Saya juga memiliki keluarga yang horas, selamat, sehat, dan cucu yang
sehat-sehat untuk saya mengisi hari tua ini." Pencapaian Bonar Gultom sampai saat ini sangat tepat tergambar lewat syair lagunya sendiri, Arbab, versi bahasa Indonesia:

Jiwaku ingin bernyanyi,
serta tubuhku menari-nari
Menunjukkan sukacita
Atas kasih Tuhan kepadaku

Dan, Bonar Gultom pun terus bernyanyi..

DALIHAN NA TOLU

TOLU SAHUNDULAN
(The Philosophy of Life)

Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun).

Dalihan dapat diterjemahkan sebagai "tungku" dan "sahundulan" sebagai "posisi duduk". Keduanya mengandung arti yang sama, 3 POSISI PENTING dalam kekerabatan orang Batak, yaitu: HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di atas", yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut SOMBA SOMBA MARHULA HULA yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.

DONGAN TUBU atau SANINA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya "sejajar", yaitu: teman/saudara semarga sehingga disebut MANAT MARDONGAN TUBU, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.

BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di bawah", yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut ELEK MARBORU artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.

Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU.

Dengan dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang.

Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat.

Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya.Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.

Air Terjun Tongging

Wisata Air Terjun Tongging Belum Dikelola Profesional
Sumber : Republika(2004)

Kawasan wisata air terjun Tongging , Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara, yang dikenal dengan keindahan panorama alamnya hingga kini belum dikelola secara profesional sehingga bagi wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut masih mengalami kesulitan mencari tempat penginapan.

Obyek wisata Tongging yang berjarak sekitar 75 Km dari kota Medan memiliki keindahan panorama alam yang menarik selain kondisi alamnya yang demikian sejuk juga terdapat air terjun di sela-sela gunung Sibayak, wisatawan dapat pula menyaksikan keindahan suasana alam danau Toba, demikian dilaporkan LKBN ANTARA dari Tongging, Senin.

Sejumlah wisatawan yang ditemui sangat mengharapkan agar Pemda Kabupaten Tanah Karo aktif untuk mencari calon investor mengelola obyek wisata air terjun Tongging secara profesional termasuk pembangunan penginapan. "Kami menjadi bingung di lokasi obyek wisata alam yang demikian indah tidak terdapat hotel atau losmen,"tanya sejumlah wisatawan asal Jakarta dan Bogor di lokasi obyek wisata tersebut.

Selama ini kata para pedagang cinderamata di Tongging mayoritas turis yang berlibur adalah wisatawan lokal sedang pelancong asing hanya berhenti sejenak sebelum melanjutkan perjalanan mereka menuju Danau Toba. Jalan menuju kawasan wisata itu cukup bagus bahkan mudah dijangkau dari Tanah Karo dan Brastagi, dari kota Medan bisa ditempuh dalam waktu dua setengah jam dan bila macet sekitar tiga jam.

Panorama alamnya nampak demikian indah air terjun yang diapit hamparan gunung Sibayak dan Danau Toba serta kondisi alam yang sangat sejuk menjadikan kawasan wisata tersebut layak untuk dikembangkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata kenamaan di Sumut selain Danau Toba.

Untuk mencapai air terjun dari lokasi puncak memerlukan waktu 1,5 jam berjalan kaki, kondisi ini sangat cocok bagi wisatawan yang memiliki kesenangan berolahraga jalan kaki. Pada hari Minggu dan libur kawasan tersebut banyak dikunjungi wisatawan lokal khususnya remaja dan pemuda serta keluarga.(ant/abi)

Sejarah Batak

Sumber : disarikan dari buku "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" cet. ke-2 (1997) oleh Drs Richard Sinaga, Penerbit Dian Utama, Jakarta

Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.

Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20.

Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus.

Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.

Dengan memperhatikan tahun tahun dan kejadian di atas diperkirakan: Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus. Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, Si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di Portibi, Padang Lawas dan sebelah Timur Danau Toba (Simalungun).

Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya.

Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah. Selanjutnya menurut buku TAROMBO BORBOR MARSADA anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu : GURU TETEA BULAN, RAJA ISUMBAON dan TOGA LAUT. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya Marga-marga Batak.

LEGENDA SI RAJA BATAK

Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam bernama Manuk Manuk Hulambujati (MMH) berbadan sebesar kupu-kupu besar, namun telurnya sebesar periuk tanah. MMH tidak mengerti bagaimana dia mengerami 3 butir telurnya yang demikian besar, sehingga ia bertanya kepada Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) bagaimana caranya agar ketiga telur tsb menetas.

Mulajadi Na Bolon berkata, "Eramilah seperti biasa, telur itu akan menetas!" Dan ketika menetas, MMH sangat terkejut karena ia tidak mengenal ketiga makhluk yang keluar dari telur tsb. Kembali ia bertanya kepada Mulajadi Nabolon dan atas perintah Mulajadi Na Bolon, MMH memberi nama ketiga makhluk (manusia) tsb. Yang pertama lahir diberi nama TUAN BATARA GURU, yang kedua OMPU TUAN SORIPADA, dan yang ketiga OMPU TUAN MANGALABULAN, ketiganya adalah lelaki.

Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. MMH kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik : SIBORU PAREME untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki laki diberi nama TUAN SORI MUHAMMAD, dan DATU TANTAN DEBATA GURU MULIA dan 2 anak perempuan kembar bernama SIBORU SORBAJATI dan SIBORU DEAK PARUJAR. Anak kedua MMH, Tuan Soripada diberi istri bernama SIBORU PAROROT yang melahirkan anak laki-laki bernama TUAN SORIMANGARAJA sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama SIBORU PANUTURI yang melahirkan TUAN DIPAMPAT TINGGI SABULAN.

Dari pasangan Ompu Tuan Soripada-Siboru Parorot, lahir anak ke-5 namun karena wujudnya seperti kadal, Ompu Tuan Soripada menghadap Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta). "Tidak apa apa, berilah nama SIRAJA ENDA ENDA," kata Mulajadi Na Bolon. Setelah anak-anak mereka dewasa, Ompu Tuan Soripada mendatangi abangnya, Tuan Batara Guru menanyakan bagaimana agar anak-anak mereka dikawinkan. "Kawin dengan siapa? Anak perempuan saya mau dikawinkan kepada laki-laki mana?" tanya Tuan Batara Guru. "Bagaimana kalau putri abang SIBORU SORBAJATI dikawinkan dengan anak saya Siraja Enda Enda. Mas kawin apapun akan kami penuhi, tetapi syaratnya putri abang yang mendatangi putra saya," kata Tuan Soripada agak kuatir, karena putranya berwujud kadal.

Akhirnya mereka sepakat. Pada waktu yang ditentukan Siboru Sorbajati mendatangai rumah Siraja Enda Enda dan sebelum masuk, dari luar ia bertanya apakah benar mereka dijodohkan. Siraja Enda Enda mengatakan benar, dan ia sangat gembira atas kedatangan calon istrinya. Dipersilakannya Siboru Sorbajati naik ke rumah. Namun betapa terperanjatnya Siboru Sorbajati karena lelaki calon suaminya itu ternyata berwujud kadal.

Dengan perasaan kecewa ia pulang mengadu kepada abangnya Datu Tantan Debata. "Lebih baik saya mati daripada kawin dengan kadal," katanya terisak-isak. "Jangan begitu adikku," kata Datu Tantan Debata. "Kami semua telah menyetujui bahwa itulah calon suamimu. Mas kawin yang sudah diterima ayah akan kita kembalikan 2 kali lipat jika kau menolak jadi istri Siraja Enda Enda."

Siboru Sorbajati tetap menolak. Namun karena terus-menerus dibujuk, akhirnya hatinya luluh tetapi kepada ayahnya ia minta agar menggelar "gondang" karena ia ingin "manortor" (menari) semalam suntuk. Permintaan itu dipenuhi Tuan Batara Guru. Maka sepanjang malam, Siboru Sorbajati manortor di hadapan keluarganya.

Menjelang matahari terbit, tiba-tiba tariannya (tortor) mulai aneh, tiba-tiba ia melompat ke "para-para" dan dari sana ia melompat ke "bonggor" kemudian ke halaman dan yang mengejutkan tubuhnya mendadak tertancap ke dalam tanah dan hilang terkubur!

Keluarga Ompu Tuan Soripada amat terkejut mendengar calon menantunya hilang terkubur dan menuntut agar Keluarga Tuan Batara Guru memberikan putri ke-2 nya, Siboru Deak Parujar untuk Siraja Enda Enda.

Sama seperti Siboru Sorbajati, ia menolak keras. "Sorry ya, apa lagi saya,"katanya.Namun karena didesak terus, ia akhirnya mengalah tetapi syaratnya orang tuanya harus menggelar "gondang" semalam suntuk karena ia ingin "manortor" juga. Sama dengan kakaknya, menjelang matahari terbit tortornya mulai aneh dan mendadak ia melompat ke halaman dan menghilang ke arah laut di benua tengah (Banua Tonga).

Di tengah laut ia digigit lumba-lumba dan binatang laut lainnya dan ketika burung layang-layang lewat, ia minta bantuan diberikan tanah untuk tempat berpijak. Sayangnya, tanah yang dibawa burung layang-layang hancur karena digoncang NAGA PADOHA.

Siboru Deak Parujar menemui Naga Padoha agar tidak menggoncang Banua Tonga. "OK," katanya. "Sebenarnya aku tidak sengaja, kakiku rematik. Tolonglah sembuhkan."

Siboru Deak Parujar berhasil menyembuhkan dan kepada Mulajadi Na Bolon dia meminta alat pemasung untuk memasung Naga Padoha agar tidak mengganggu. Naga Padoha berhasil dipasung hingga ditimbun dengan tanah dan terbenam ke benua tengah (Banua Toru). Bila terjadi gempa, itu pertanda Naga Padoha sedang meronta di bawah sana. Alkisah, Mulajadi Na Bolon menyuruh Siboru Deak Parujar kembali ke Benua Atas.


Karena lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus RAJA ODAP ODAP untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di SIANJUR MULA MULA di kaki gunung Pusuk Buhit.

Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar : RAJA IHAT MANISIA (laki-laki) dan BORU ITAM MANISIA (perempuan).

Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki laki : RAJA MIOK MIOK, PATUNDAL NA BEGU dan AJI LAPAS LAPAS. Raja Miok Miok tinggal di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham.

Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama ENGBANUA, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu : RAJA UJUNG, RAJA BONANG BONANG dan RAJA JAU. Konon Raja Ujung menjadi leluhur orang Aceh dan Raja Jau menjadi leluhur orang Nias.

Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama RAJA TANTAN DEBATA, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut SI RAJA BATAK, YANG MENJADI LELUHUR ORANG BATAK DAN BERDIAM DI SIANJUR MULA MULA DI KAKI GUNUNG PUSUK BUHIT!

Marga dan Tarombo

MARGA adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. Seorang ayah merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya.

Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu.

Menurut buku "Leluhur Marga Marga Batak", jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.

TAROMBO adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga. Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo. Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling "mardongan sabutuha" (semarga) dengan panggilan "ampara" atau "marhula-hula" dengan panggilan "lae/tulang".

Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil "Namboru" (adik perempuan ayah/bibi), "Amangboru/Makela",(suami dari adik ayah/Om), "Bapatua/Amanganggi/Amanguda" (abang/adik ayah), "Ito/boto" (kakak/adik), PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dst.

Horas !

Horas adalah salam khas orang Batak yang berarti selamat, salam sejahtera, yang kerap diucapkan dalam kehidupan sehari-hari bila 2 orang atau lebih bertemu.

Padanan kata horas adalah Mejuah-juah (Batak Karo, Batak Pakpak), Yahowu dari daerah Nias. Sedangkan Ahoiii! adalah salam khas daerah pesisir Melayu di Sumatera Utara.

Horas bisa juga berarti selamat jalan/datang, selamat pagi/siang/malam dan lain lain yang maknanya baik. Karena populernya kata horas, orang-orang non Batak juga sering mengucapkan kata tersebut jika bertemu dengan orang Batak.

Ulos Batak

Secara harafiah, ulos berarti selimut, pemberi kehangatan badaniah dari terpaan udara dingin. Menurut pemikiran leluhur Batak, ada 3 (tiga) sumber kehangatan :

(1) matahari,
(2) api,
(3) ulos.

Dari ketiga sumber kehangatan tersebut, ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Matahari sebagai sumber utama kehangatan tidak kita peroleh malam hari, dan api dapat menjadi bencana jika lalai enggunakannya.

Dalam pengertian adat Batak "mangulosi" (memberikan ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Biasanya pemberi ulos adalah orangtua kepada anak-anaknya, hula-hula kepada boru.

Ulos terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dalam upacara adat yang bagaimana. Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak" bisa diartikan penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat diiringi ucapan semoga dalam menjalankan tugas tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.

Ulos juga digunakan sebagai busana, misalnya untuk busana pengantin yang menggambarkan kekerabatan Dalihan Natolu, terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (sarung).