27 September 2004

Sitor Situmorang

Sebgaimana dimuat dalam Kolom Lebih Jauh Dengan di Kompas Minggu

ORANG mudah keliru menilai Sitor Situmorang. Logat Batak Toba-nya yang kental membuat sastrawan Angkatan ’45 kelahiran Desa Harianboho, 2 Oktober 1924, ini berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.

Tak berlebihan kalau dikatakan, Sitor Situmorang adalah lelaki tua yang periang. Ia jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya. Pada usia 80 tahun seperti sekarang ini, dengan mudah ia lewati lantai berundak yang terdapat di depan kamar tidurnya, tanpa bantuan tongkat sedikit pun.

"Ya, beginilah saya cukup berbahagia kalau ada orang yang sewaktu bertemu tiba-tiba memberi salam dengan membaca puisi saya. Dulu Arifin C Noor atau Rendra kalau ketemu selalu begini://...Lewat Tarutung dan Siantar/ ada dua jalan batu/ menuju kau// Aku tahu.... Nah kalau begitu, saya pasti tahu itu mereka," tutur Sitor, Kamis (23/9) siang di galeri milik Toety Heraty, di mana ia tinggal selama di Jakarta. Kutipan puisi itu berasal dari karyanya, Jalan Batu ke Danau.

Akhir-akhir ini pun masih ada sahabat yang menyapanya dengan puisi. Sitor tiba-tiba berdiri dan membacakan penggalan puisinya: //...(di hutan kundalini/ di sumber air amerta/ di lembah dalam dan sepi/ hatiku bercermin sorga)// "Nah, itu selalu menjadi salam penyair dari Madura bernama Zawawi kalau bertemu dengan saya. Judulnya, Mendaki Puncak Merapi," cerita Sitor begitu ekspresif.

Sitor Situmorang ibarat gambaran utuh sejarah perjalanan kesusastraan dan politik di negeri ini. Ia telah menjadi pemimpin redaksi sebuah harian yang terbit di Sibolga, harian Suara Nasional, pada tahun 1943. Padahal, ketika itu ia belum pernah menjadi wartawan. Kemudian ia bergabung dengan kantor berita Antara di Siantar serta tahun 1947 menjadi koresponden harian Waspada Medan di Yogyakarta atas permintaan Menteri Penerangan Muhammad Natsir. Di Yogyakarta-lah ia berkenalan dengan "bapak-bapak Republik"-ini istilah Sitor sendiri-seperti Bung Karno, Hatta, serta para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Sebagai wartawan muda yang baru berusia 23 tahun dan meliput Konferensi Federal di Bandung tahun 1947 dengan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, nama Sitor Situmorang tiba-tiba dikutip berbagai media dari seluruh dunia. "Itu karena saya interview dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal ciptaan Belanda yang menjadi ajudan Ratu Belanda. Saya tanya, ’bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia’, dia jawab, ’oh terang Republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada’. Esok harinya itu jadi headline dan semua kantor berita asing mengutipnya, karena konferensi belum mulai sudah ada gong begitu," kata Sitor berapi-api.

Di meja berserakan poster, kertas-kertas undangan, serta beberapa coretan yang belum sempat dirapikan tuan rumah. Rupanya Sitor Situmorang tengah mempersiapkan peringatan ulang tahun ke-80 dengan memamerkan puluhan kumpulan puisi serta dokumentasi-dokumentasi seputar keterlibatannya di dalam peta sastra dan politik di Tanah Air, tanggal 2 Oktober 2004 nanti di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Kami berbincang di tepi kolam kecil dengan air mancur serta ikan-ikan yang girang. Siang yang berat di jalanan terasa ringan ketika melihat Sitor begitu riang, penuh energi dan imajinasi. Kata-katanya yang lugas sesekali diekspresikan dengan cara memeragakan kandungan omongan yang ingin ia ungkapkan.

Apa yang terasa istimewa pada saat-saat memasuki usia 80 tahun seperti sekarang ini dan Anda masih tampak sehat, tetap berapi-api seperti tak kenal kata menyerah?

Seperti lazim di kita, kalau sudah menjelang 70 tahun biasanya ada upacara-upacara tertentu yang harus dilaksanakan untuk menghormati (adat dan budaya kita). Saya sudah jalan 80 tahun. Dalam adat Batak, karena sudah bercucu, mestinya sudah ada pesta besar untuk merenungkan bahwa hidup itu bersinambung. Jadi, biar lebih ikhlas. (Mungkin) kalau di desa itu nasi tumpeng, di kota bisa pakai (kue) tart... ha-ha-ha....

Apa maksudnya dengan kata ikhlas itu?

Jadi, kedudukan pribadi saya ini ya sebagai sastrawan saja. Kalau masih ada kepala suku, saya ini kepala suku, tapi absen karena tidak tinggal di desa.

Bagaimana dengan hal-hal yang bersangkut dengan penciptaan. Apa masih seperti tahun-tahun 50-an, di mana puisi-puisi deras mengalir ?

Nanti tanggal 27 (maksudnya 27 September 2004-Red) akan keluar karya-karya saya yang belum dikenal orang. Artinya, itu yang terbaru atau bisa juga yang lama tapi belum dikenal.

Sebenarnya bagaimana Anda memandang dunia kepenyairan? Anda kan menulis puisi sudah lebih dari setengah abad ?

Sudah ada pada kesimpulan saya yang diucapkan pada tahun 1978 di TIM. Semua orang hidup dalam puisi. Jadi, unsur budaya itu salah satu puisi. Puisi ini menyangkut tulisan, bahasa, atau dibacakan. Tapi, sebelum ada tulisan, puisi sudah ada. Itu yang saya bilang, manusia ada di bumi ini lepas dari tafsiran teologis, sudah terus mulai dari Adam dan Eva. Puisi yang dilahirkan dari Adam dan Eva sampai sekarang di lingkungan budaya mana pun, saya alami sebagai pengungkapan dunia kerohanian lewat bahasa. Tapi, bisa juga lewat seni patung atau apa... tapi penyair, artinya kalau ada sajak, ini sajak mana (Tiba-tiba Sitor menanyakan kopian sajak yang kami geletakkan di meja. Ia memerhatikan sejenak... karena konsentrasinya kepada kertas itu, omongannya jadi agak kacau....) Jadi, kalau ada orang sekarang, tapi juga Adam dan Eva mendengar, suatu nyanyian, bisa di desa atau di kota, bisa menangkap apa yang diungkapkan dalam puisi itu.

Akan tetapi, puisi bukan sekadar susunan kata-kata dan kalimat. Jadi, misalnya, puisi itu kan seperti ada cerita, seperti laporan pengalaman, tetapi dirasakan pembaca, bukan ceritanya yang hebat, tetapi di balik cerita itu seperti ada cerita kias. Ia menceritakan sesuatu yang tidak bisa ditangkap secara prosais.

Maksud Anda bisa lebih jelas ?

Apa itu yang ditangkap pembaca, ide yang menggugah kebatinan manusia. Tanpa bicara tentang batin manusia, membaca puisi adalah sesuatu yang mengaktuilkan penghayatan adanya batin. Dunia batin. Begitu puisi sudah dilupakan, ini dogma saya, tapi manusia lewat kebudayaannya akan tetap melahirkan puisi. Karena itu bagian mutlak dari dunia kebatinan. Ini kesimpulan saya. Katakanlah itu pembenaran saya. Saya sudah lebih dari setengah abad menulis puisi, ditanya uang pensiun sepeser pun saya tidak punya... ha-ha-ha.... Saya hidup sekarang dari istri, mata pencaharian istri saya....

Apa yang membuat Anda bertahan sampai sekarang menjadi pengabdi puisi ?

Penyair yang bernama Sitor itu hanya wadah, dengan kata-kata lain, wadah mewadahi dunia batin. Orang yang tidak mampu menghayati dunia batin, tidak perlu puisi, buang saja semua itu. Puisi tidak ada yang habis. Kalau secara sejarah yang namanya manusia, tidak mungkin tidak ada yang namanya puisi, tapi detik-detik tertentu bisa tidak ada puisi itu... ha-ha-ha. Tapi, kalau sampai ia bilang tidak ada puisi, artinya ada yang tidak beres. Di situ ada relasi antara pembaca dan penyair dengan peranan bahasa. Tidak ada puisi tanpa bahasa. Tapi, bahasa mana pun tidak mampu mengungkapkan kekayaan batin. Begitu berhenti karena tidak ada penyair, bahasa itu tidak akan berkembang. Di situ tempatnya seorang penyair seperti Sitor. Hanya ingat puisi hidup karena ada pembaca, kalau tidak ada pembaca tidak juga ada puisi.

Apa yang Anda dapatkan dari kehidupan berpuisi itu ? Karena, setahu kami sepulang dari Eropa tahun 50-an awal, Anda justru berhenti jadi wartawan dan memutuskan jadi penyair.

Dalam arti sosial ada. Saya paling senang ketemu orang di luar acara sastra. Terus oh tahu, terus keluar kata-kata puisi (berdiri seperti mau baca puisi). Oh itu kepuasan luar biasa. Itu lebih hebat dari telaah-telaah para ahli. Maksudnya begini, telaah sastra bagian dari kepentingan kebudayaan, tapi bagi saya sekali lagi, kemarin ada Cakrawala Sastra Indonesia di TIM, di antara puluhan sastrawan muda itu selalu ada kata, //Bulan di atas kuburan//. (Sitor membaca puisinya berjudul Malam Lebaran yang ditulis tahun 1955, tetapi sampai kini terus-menerus jadi perbincangan). Wah, itu saya sudah senang sekali....

Ada lagi pelukis yang merespons puisi saya, Mawar, yang hanya terdiri dari delapan kata. Dan, itu dipamerkan beberapa waktu lalu di Magelang. Kebetulan saya datang, begini://Mawar jingga/ Mawar semesta/ Mawar nestapa/ Ciuman buta//. Ia tulis dan lukis di kanvasnya bunga mawar hitam. (Kata-kata itu diungkapkan Sitor dengan nada penuh kekaguman).

Sitor mengatakan, peristiwa-peristiwa seperti inilah yang terus-menerus menghidupkan energi kreatif di dalam dirinya. Secara tidak langsung energi kreatif itu terus membangkitkan daya hidupnya sehingga tidak menyerah pada gerusan usia. Penyair yang pernah tinggal di Belanda, Perancis, dan Pakistan ini menulis puisi pertama kali tahun 1943 berjudul Kaliurang. Puisi itu dimuat di majalah Siasat pimpinan HB Jassin. Tetapi, kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953 sepulang dari Eropa ketika ia secara kebetulan bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang waktu itu memiliki penerbit Pustaka Rakjat.

"Di situlah terbit Surat Kertas Hijau. Buat saya diterbitkan oleh Pustaka Rakjat itu sangat bersejarah. Mau beda paham dengan STA tak masalah...," katanya.

Anda sudah hidup di luar negeri lebih dari setengah abad, apa arti kampung halaman dalam karya-karya Anda ?

Kampung halaman dalam proses kreatif begini: kampung halaman buat budaya Indonesia adalah desa dalam pengertian primordial. Kampung halaman saya satu, Harianboho. Tetapi, desa saya ada dua, yaitu Harianboho dan Paris.

Apa penjelasannya ?

Di situ tersisa penghayatan kehidupan secara utuh. Tentu saja ada berbagai macam kondisi Paris. Pengalaman sebagai manusia modern ada di Paris, tapi sebagai manusia purba dalam arti positif ada di Harianboho. Ini satu kosmos. Kalau saya hidup di Jakarta ini terpecah-pecah... he-he-he.

PERNIKAHANNYA dengan Tiominar (almarhum) dikaruniai enam anak: Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti yang semuanya kini tinggal di Jakarta. Sitor kemudian menikah lagi dengan seorang diplomat bernama Barbara Brouwer dan dikaruniai seorang putra bernama Leonard.

Perjalanannya di kancah politik diwarnai oleh hal-hal yang menyakitkan. Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI periode 1959-1965 ini, pernah dijebloskan ke penjara oleh rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun (1967-1975) tanpa pernah diadili, dan karena itu ia tidak tahu apa kesalahannya. "Mungkin karena saya anti-Soeharto saja," ketusnya.

Ketika hidup di penjara, Sitor tak diperkenankan membawa pulpen atau kertas. "Jangankan menulis, bawa pulpen dan kertas saja dilarang. Masih untung ada sastrawan kita yang diberi mesin ketik," ujarnya.

Ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun. Kemudian tahun 1981 ia diangkat sebagai dosen di Universitas Leiden, Belanda, dan pensiun pada tahun 1991. Praktis selama itu ia hidup di luar negeri, terutama di Kota Paris yang ia sebut sebagai desa keduanya setelah Harianboho yang terletak di tepi Danua Toba.

Ia kemudian kembali ke Indonesia karena mengikuti Barbara yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta sejak tahun 2001. Sejak bermukim di luar negeri sampai kembali ke Indonesia, pengamatannya tak pernah lekang dari situasi politik di Tanah Air. Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar mengatakan turut serta berpolitik. Ia pernah menjadi anggota MPRS.

Apa pendapat Anda tentang kondisi perpolitikan di Tanah Air sekarang ?

Kalau kita bicara tahun 2004, saya amati kita punya cendekiawan, intelegensia kelas menengah sama sekali tak tahu urusan politik, baik yang duduk di partai maupun birokrasi. Dan, itu akibat dari hilangnya pengetahuan sejarah bangsa di kalangan mereka. Dalam pengalaman dan studi politik saya, setiap sistem demokrasi, sosialis, komunis, kapitalis ataupun feodal seperti kerajaan dahulu, (terlihat) setiap abad memiliki kecenderungan yang berbeda.

Sebagaimana keberhasilan rezim Soeharto karena dukungan kelas menengah, dan kelas itu pula yang menjatuhkannya, semua bertolak punggung secara kerohanian. Semua demi aji mumpung, oportunis.... Dulu masih ada idealisme. Ada kejelekan memang, tetapi masih hidup suatu inti kelas menengah yang bukan karena mau naik pangkat, tapi masih punya integritas, bisa mengatakan saya tidak mau jual diri.

Anda konon sangat marah kalau ada yang menyebut Orde Lama. Kenapa ?

Jangan asal sebut Orde Lama. (Nada bicaranya meninggi). Orang-orang pintar pun bilangnya Orde Lama. Pertama-tama kalau kita mau berpikir jernih, harus bersihkan dulu istilah-istilah kita. Misalnya, Orde Baru itu apa, kediktatoran atau apa, mari kita bicarakan sampai ke tingkat universitas.

Orde Baru, kata Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan Negara, adalah suatu ideologi neofasis, berhasil menciptakan kediktatoran di bawah Soeharto. Tapi, tidak ada kelompok mana pun yang menjawab itu di depan umum. Jadi, yang diadili dan tertuduh dalam buku itu adalah kelas menengah yang tadinya semua menyalahkan apa yang terdapat dalam Orde Lama. Orde Lama itu identik dengan Soekarno, Soekarno identik dengan PKI, ini pemikiran kelas apa?

Orde Baru yang memegang kekuasaan 32 tahun telah menafikan sejarah nasional. Dengan istilah Orde Lama, sejarah nasional tidak ada, Soekarno tidak ada, Natsir tidak ada itu. Jadi, semua seolah mulai dari nol, dari mitos Orde Baru, yang lain buang semua, (terjadi) depolitisasi, de-soekarnoisasi.

Lalu, sekarang ada generasi 2000 yang tidak tahu sejarah, karena itu tadi sejarah digelapkan....

Sitor merasa cukup heran mengapa sampai kini tidak ada yang berusaha menjawab apa yang diungkapkan di dalam buku Daniel Dhakidae. "Semua yang menjadi tertuduh dalam buku ini sampai sekarang tidak ada yang merasa perlu menjawab tuduhan jaksa sejarah. Ini tafsir saya, yang dituduh dalam buku itu adalah kelas menengah terpelajar Indonesia yang memperlihatkan kecenderungan sekadar mengabdi, menguntungkan dirinya, dan tanpa idealisme," kata Sitor Situmorang sembari berdiri untuk meyakinkan lawan bicaranya.

Apa sih pandangan Anda sendiri tentang Orde Baru dari sudut budaya ?

Dari sisi budaya, perkataan Orde Baru itu istilah ideologi fasis. (Itu) ada di Italia dan Jerman. Dalam bahasa Jerman... (berkata dalam bahasa Jerman). Dan biasanya dikaitkan dengan manusia baru, itu istilah utopis. Jadi, kalau yang utopis sudah mengandung potensi kebohongan. Dia sudah seperti diutus dewo, jadi jenis manusia yang luar biasa. Dan kelompoknya, kelompok luar biasa, tidak bisa bikin salah....

Tampaknya Anda marah sekali, apa karena pernah dihukum tanpa diadili oleh rezim Soeharto itu ?

Oh tidak, itu terlalu subyektif. Memang saya mengerti mengapa ditangkap Soeharto dari segi politik. Ya, ya saya memang antidiktator.... Nyatanya ratusan ribu orang ditahan bertahun-tahun tidak pernah dimajukan... kamu berbuat kesalahan ini.

....Soekarno mati sebagai orang sakit-sakitan dalam tahanan Soeharto. Tidak ada orang Indonesia yang mempertanyakan itu, (mungkin) lebih baik dilupakan. Itu oportunisme kita. Manusia yang namanya Soekarno, proklamator, mati dalam tahanan, tapi tidak ada yang pernah nuntut.... Maaf, apa itu, mikul duwur mendem jero. Ini penerapan suatu kearifan leluhur kita untuk memaafkan suatu kejahatan. Tidak bisa itu. Bukan begitu maksud leluhur kita....

Ke depan, bagaimana Anda melihat bangsa ini. Apa masih tersisa rasa optimis ?

Optimis begini, dalam arti apa pun yang dilakukan Orde Baru untuk mengkhianati, modal utama kita adalah masyarakat madani. Masyarakat madani kita terus hidup, cuma tergencet dari urusan-urusan publik, masih terdesak-desak. Ambillah misalnya kelompok Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, LSM-LSM, wilayah desa-desa kita, andaikata di sini (negara) bubar, di desa tidak akan bubar. Selama masih ada Muhammadiyah, NU, dan gereja-geraja yang sadar akan tugas kebangsaannya.... Jadi, kekuatan kita bukan hanya idealisme, tetapi kearifan leluhur kita yang masih menyisakan kerukunan masyarakat madani dalam segala keterpurukan material. Ini modal....

Pewawancara :
KENEDI NURHAN
PUTU FAJAR ARCANA

Pantur Silaban

Sebagaimana dimuat dalam Kolom Lebih Jauh Dengan di Kompas Minggu

PALING tidak ada empat hal yang berhenti dalam gerak waktu pada diri fisikawan ini: guyonnya yang autentik dan terus mengalir, asap rokoknya yang laten mengepul, butir kapur tulis yang terkelupas oleh papan tempat ia menoreh tanda matematik saban menjelaskan fisika, serta kemeja lengan panjang dan pantalon berukuran pas di tubuhnya yang tak kunjung kusut sepanjang hari. Begitulah Pantur Silaban 25 tahun silam, juga hari-hari ini.

Yang terus bergerak adalah usahanya mengenali dan menjelaskan fenomena, sejarah, dan masa depan alam dari tingkat renik sampai jagat raya. Baik untuk disampaikan kepada mahasiswanya maupun sejawatnya pada seminar nasional, simposium internasional seperti tahun-tahun lalu di lingkungan fisikawan teori antarbangsa di Trieste-Italia, Melbourne, dan New York. Doktor fisika Universitas Syracuse, Amerika Serikat (1971) dengan disertasi Null Tetrad Formulation of the Equation of Motion in General Relativity ini mengikuti perkembangan fisika teori dari era Newton, Maxwell, Einstein, sampai Penrose terentang 350 tahun dan sekarang, "Sedang mencari perusakan simetri apa yang bertanggung jawab menciptakan muatan listrik," katanya.

Fisikawan pertama Indonesia dalam Relativitas Umum ini tergolong langka di bidangnya, juga di kawasan Asia Tenggara. Guru besar fisika teori ITB per Januari 1995, kelahiran Sidikalang, 11 November 1937 ini pensiun akhir 2002. Namun, Ketua Departemen Fisika ITB Dr Pepen Arifin mempertahankan Silaban mengajar sampai kapan pun di sana. Ketua Kelompok Bidang Keahlian Fisika Teori ITB Dr Freddy P Zen mempertegas, "Kalau jurusan kekurangan ruang kerja, saya sediakan kamar saya untuk beliau."

Di lingkungan keluarga ia menebang folklor, "Rebung tak jauh dari rumpun." Ayahnya Israel Silaban dan ibunya Regina br Lumbantoruan adalah pedagang buta huruf, tapi Pantur terdidik sampai PhD lalu profesor di lembaga pendidikan terkemuka: ITB.

Keempat putrinya, buah perkawinan dengan Rugun br Lumbantoruan, sarjana dari perguruan tinggi negeri. Anna lulusan Ekonomi Universitas Padjadjaran; Ruth dokter spesialis saraf Universitas Padjadjaran; Sarah lulusan Teknik Sipil ITB dan magister Universitas Teknologi Chalmers, Swedia; dan Mary si bungsu sarjana geologi ITB. Tinggal Mary yang belum berkeluarga.

Nama putrinya berbau Semit, demikian pula ketiga cucunya: Joshua Bala, Jeremy Binsar Gultom, dan Joseph Gultom. "Saya memang terkesan dengan etos kerja Yahudi," katanya. "Anda tahu Syracuse itu universitas orang Yahudi. Hanya ada dua jenis manusia yang diterima di sini. Kalau bukan Yahudi, ya pasti orang pintar. You tahu saya bukan Yahudi."

Joshua untuk cucunya dari nama depan promotor utamanya, Joshua N Godlberg, yang sampai hari ini berhubungan baik dengan keluarganya. "Tahun depan saya ke New York sebab Goldberg 80 tahun," katanya.

Pada 30 Agustus lalu Rektor ITB Dr Kusmayanto Kadiman mendaulat Silaban menyampaikan kuliah populer terbuka untuk umum, Umur Alam Semesta, yang dihadiri 300 pengunjung dari berbagai kalangan.

Sebelumnya Anda bilang tak menyinggung Tuhan dalam ceramah itu? Mengapa?

Pertanyaan teologis selalu muncul ketika ditanyakan apa yang terjadi antara permulaan waktu dan Dentuman Besar yang hanya 10-43detik itu. Ada dua pendapat. Yang pertama mengatakan saat itu sudah berlaku hukum-hukum fisika, yang lain mengatakan tidak berlaku. Stephen Hawking, yang kita akui pemikir besar, mengatakan dalam durasi pendek itu Tuhan bersembunyi. Tugas fisikawan mencari persembunyian Tuhan.

Memang ada pendapat yang mengatakan Semesta terbentuk kebetulan saja. Tak ada penciptanya. Saya hanya mau mengatakan selera saya berbeda dengan Hawking. Dia sering menyerempet ke ihwal yang doesn’t make sense. Bagi saya, fisika bukan ilmu ketuhahan walau ada yang mengatakan teologi itu cabang fisika. Memang ada tiga pendapat tentang ini. Yang pertama: teologi dan fisika adalah dua hal berbeda. Yang kedua: teologi dan fisika adalah dua cabang dari satu pengetahuan yang nanti menuju kesimpulan sama. Yang ketiga: kedua ilmu itu bertentangan.

Ketika baca buku Menapak Jalan-Jalan Tuhan, saya jadi kacau dalam segala bidang, termasuk iman. I just want to be myself, I don’t want to be a slave of Hawking, Penrose or Einstein.

Selain mengenai Tuhan, apa yang sering ditanyakan kepada Anda sebagai fisikawan?

Pertanyaan yang mempermasalahkan apakah teori Einstein benar atau salah. Saya selalu menjawab sebagai orang yang puluhan tahun bekerja dalam Relativitas Umum, saya tidak pernah mengatakan apakah teori Einstein benar atau salah.

Saya tak mau terulang kejadian pada Simposium XI Fisika Nasional di Yogyakarta dulu. Waktu itu fisikawan kita, Prof Achmad Baiquni, masih hidup. Rupanya ada orang yang mengklaim teori Einstein salah. Terus Baiquni minta saya, "Tolong kamu bantah." Saya jawab, "Soal salah-benar teori Einstein, saya tidak tahu. Cuma, kalau ditanyakan teori Einstein itu seperti apa, saya akan coba jelaskan. Yang penting kita jangan menyelewengkan ide-ide Einstein."

Untuk itu, mari kita baca tulisan Einstein dalam The Meaning of Relativity, buku yang ditulis Einstein sendiri, bukan orang lain tentang teori itu. Jawab orang itu, saya tidak mau baca karena dalam bahasa Inggris, bahasa orang kafir. Ini susah!

Einstein sering salah dikutip?

Tampaknya begitu. Ada yang bilang, kesalahan Einstein terletak pada pernyataan: tak ada yang bergerak melebihi kecepatan cahaya. Saya bilang tunggu dulu.

Semua teori dibangun entah oleh prinsip, aksioma, dalil, atau apa saja namanya. Prinsip Relativitas Khusus: semua sistem inersia ekivalen satu sama lain. Artinya, kalau kita punya dua sistem inersia maka yang terjadi di sistem satu dapat terjadi juga di sistem dua. Tegasnya, kalau di sini bisa terjadi pembunuhan, di sana bisa juga terjadi pembunuhan. Segala fenomena fisika yang terjadi di sini bisa juga terjadi di sana.

Prinsip kedua: laju cahaya dalam vakum konstan, tidak bergantung pada pengamat, tidak bergantung pada sumber. Apakah sumbernya loncat-loncat atau pengamatnya menari, laju cahaya konstan. Sepanjang yang saya tahu, Einstein tak pernah mengatakan "dengan catatan bahwa laju cahaya tak bisa dilampaui apa pun". Itu sebabnya ketika fisikawan Sudarshan mengatakan partikel tachyon bergerak melebihi laju cahaya, ia tidak melanggar prinsip Relativitas Khusus. Sifat inheren cahaya yang seperti ini merupakan revolusi pemikiran penting dalam fisika yang dikemukakan Einstein.

Anda mengupayakan ungkapan Indonesia untuk menjelaskan gravitasi: kalau sudah milik tak akan ke mana?

Saya lama merenungkan itu. Di alam kita kenal empat macam interaksi: gravitasi, elektromagnetik, kuat, dan lemah. Gravitasi adalah fenomena paling lama dikenal orang, tapi sekarang pun masih misteri. Teori gravitasi pertama berasal dari pandangan Yunani kuno yang mengatakan sebuah benda jatuh ke Bumi karena ia milik Bumi. Mirip dengan ungkapan yang kita kenal: kalau sudah milik tak akan ke mana.

Saya tak mau mengatakan teori Yunani kuno salah. Kemarin saya bilang kepada Dr Freddy, ada kemungkinan teori itu betul. Buktinya: beberapa waktu lalu ponsel saya tertinggal entah di mana. Saya anggap hilang. Orang yang menghubungi saya mengatakan ponsel itu tak pernah diangkat lagi. Saya coba rekonstruksi beberapa kemungkinan di mana saya berada ketika ponsel tertinggal. Di rumah tak ada sebab kalau tak menemukannya, saya coba hubungi dengan telepon rumah untuk mengetahui di mana benda itu sembunyi.

Saya mulai menelusuri harga ponsel baru. Punya saya itu murah. Hanya Rp 480.000. Saya pergi ke Jakarta dan ketemu teman, rupanya ponsel itu tinggal di tempatnya. Dia temukan di bawah buku. Saya pikir kalau sudah milik tak akan ke mana ada benarnya. Kok jauh begitu, masih ketemu?

Jadi mengenai teori, urusannya bukan benar salah?

Ada yang bertanya kepada saya, "Bagaimana Bapak mempelajari sesuatu yang tak Bapak yakini benar?" Saya balik bertanya, "Anda yakin yang Anda pelajari itu semua benar?"

Yang kita anggap benar sekarang belum tentu benar 100 tahun mendatang. Sering kita menganggap sesuatu benar karena diungkapkan seorang terhormat, terpandang. Menurut saya, seterhormat apa pun seseorang, banyak yang tak ia ketahui tapi diketahui orang yang sama sekali tak berpendidikan. Saya mau merombak tradisi panutan.

Socrates mengklaim kaki laba-laba enam dan bertahan seribuan tahun. Karena Socrates yang ngomong, sudah jaminan mutu. Begitu toh? Setelah sekian lama seorang ahli biologi-kalau tak salah Lamarck-menghitung. Kaki laba-laba ternyata delapan. Dulu apa saja yang dikatakan Soeharto jaminan mutu, tapi sekarang? Kenapa orang cenderung menghukum Galileo? Karena orang banyak lebih percaya kepada tokoh gereja Katolik waktu itu, yang dengan kebesaran agama mengklaim diri sumber kebenaran.

Anda sering bilang kita perlu belajar dari alam menjalani hidup. Apa contohnya?

Banyak. Salah satu, teori atom Bohr yang mengajari kita bahwa alam antikorupsi. Model Bohr begini. Atom terdiri dari inti di pusat dan elektron yang mengitari inti. Orbit kitaran itu dinamakan kulit: pertama, kedua, dan seterusnya. Energi di kulit ke-n dinyatakan dengan E>sav<>dnres< = -13,60eV/n>sav<>up<2>res<. Jadi, energi di kulit pertama -13,60eV, kedua -3,40eV, ketiga -1,51eV.

Kalau ditembak dengan sinar berenergi 10,20eV, elektron itu baru mau pindah dari kulit kedua ke kulit pertama. Dia akan naik ke sini karena dibutuhkan persis 10,20eV, yakni selisih 13,60eV dengan 3,40eV, untuk pindah orbit. Semacam promosi jabatan untuk para birokrat. Tak boleh kurang tak boleh lebih.

Bagaimana kalau energi diberi 11eV? Elektron akan bilang saya hanya butuh 10,20eV. Yang 0,80eV buang saja. Bagaimana kalau kamu kantongi dulu menunggu tambahan? Dia tidak akan mau. Jadi, alam mengatakan jangan pakai melebihi apa yang kau butuhkan.

Apa masalah besar bangsa kita?

Salah satu, kualitas kita yang makin rendah dalam ilmu dasar. Saya mau katakan, kualitas lulusan pascasarjana fisika lima tahun terakhir ini lebih rendah ketimbang kualitas sarjana fisika semasa Anda tahun 1980-an. Bayangkan banyak yang tak mengerti bagaimana menginversikan matriks. Dalam hal ini, di ASEAN, Indonesia peringkat 7 dari 10. Di bawah kita hanya Laos, Myanmar, dan Kamboja. Vietnam di atas kita. Sebelum Perang Vietnam punya banyak orang pintar. Saya kira Vietnam hanya bisa dipertandingkan dengan Singapura.

Saya pernah tanya, negara mana yang kuat di dunia ini tapi ilmu dasarnya lemah. Enggak ada. Rusia kuat, ilmu dasarnya kuat. Demikian pula Inggris, Perancis, apalagi Amerika Serikat.

Beberapa murid pintar SMA dari kalangan Batak pernah datang ke saya ingin belajar serius fisika. Penghalangnya justru orangtua mereka. "Kalau lulus, kamu mau makan apa? Paling kamu jadi guru." Begitu ancaman orangtua. Dari situ kelihatan, profesi guru dilecehkan. Padahal, yang menentukan maju-tidaknya sebuah bangsa adalah guru.

Waktu pilih Fisika, enggak ada masalah dengan orangtua?

Ayah saya yang pedagang dan buta huruf hanya mengatakan, "Kamu terserah pilih apa. Kami hanya bisa bantu menyekolahkan. Saran saya ambil bidang yang kamu suka." Tak disuruh pilih yang menghasilkan uang sekian. Ibu saya, yang buta huruf tapi cekatan menghitung uang, menyarankan saya pilih kedokteran. Rupanya dia lihat setiap mengobati pasien, dokter dapat uang. Waktu itu memang mudah kita memilih mau kuliah apa. Orang masih sedikit. Namun, jangan salah, mutu lulusan SMA dulu jauh lebih baik daripada yang sekarang.

Ada juga minat masuk teologi. Anehnya, saya sakit selama di Jakarta mempersiapkan diri masuk ke sana. Saya masuk Fisika ITB dan lulus dalam tempo 6,5 tahun, waktu minimal saat itu untuk lulus sarjana. Kalau saya ditanya mengapa belajar fisika, jawaban saya: karena memang saya menyukainya.

Pernah berpikir meninggalkan fisika?

Begini. Saya pernah baca tulisan Carnegie tentang pengusaha ikan. Suami istri itu pekerja keras, mengumpulkan modal sedikit demi sedikit, lalu berunding bagaimana kalau buka usaha. Setelah melihat geografi mereka tinggal, kesimpulannya: buka usaha ikan. Keduanya berunding memberi nama perusahaan itu: Di sini Kami Menjual Ikan Segar.

Usahanya berhasil setelah tekad bertahun-tahun dengan nama begitu. Suatu hari datang pembeli. Katanya, "Panjang sekali merek usahamu. Kamu menjual ikan di sini, bukan di tempat lain, untuk apa kata di sini." Masuk akal. Dicoretlah kata itu.

Datang lagi pembeli lain. "Mereknya kok Kami Menjual Ikan Segar. Sudah pasti kalian yang jual, untuk apa kami?" Dicoretnya kami. Didengarnya orang lain. Hari lain datang lagi pembeli. "Kenapa begitu panjang nama ini, kamu letakkan ikan di sini untuk dijual, untuk apa kata menjual?" Dicoretnya kata itu. Tinggal Ikan Segar. Datang lagi pembeli dan bertanya, "Kamu enggak akan jual ikan busuk?" Dicoretnya segar. Tinggal Ikan. Pembeli terakhir datang, "Dari jauh saya sudah mencium ikan, untuk apa kamu menamakan toko ikan?"

Setelah itu mereka gulung tikar. Artinya, sesuatu yang dipikirkan lama, karena mendengar saran orang lain, bisa berubah dan hancur. Tentu tidak salah mendengar saran orang lain, tapi bukan untuk mengubah keputusan yang sudah bertahun-tahun kita pikirkan. Saran itu semua logis.

Belajar fisika selalu direcoki dengan pertanyaan begini. Kalau kamu fisikawan, berapa sih uang yang kamu dapat? Lihat orang itu tiap tahun bisa ganti mobil, tambah rumah. Kalau dia bisa, masa kamu enggak bisa. Masuk akal juga. Kalau saya harus meninggalkan disiplin Relativitas Umum yang saya kerjakan sampai tingkat PhD, habislah semuanya. Cerita Carnegie itu suatu pendidikan.

Anda mengajar dengan kapur, sementara dosen lain dengan proyektor dan lain-lain. Mengapa?

Belakangan memang ada kebiasaan dosen pakai transparan dan proyektor. Ada satu segi kecil yang menguntungkan di sini. Katanya menghemat waktu supaya bahan yang diajarkan meliput semua yang ditentukan dalam suatu semester. Tapi, dalam belajar ilmu dasar umumnya, fisika khususnya, ada ungkapan Do not cover physics, but discover it.

Kedua, segi negatif, banyak dosen yang seakan-akan mempersiapkan bahan kuliah dengan transparan atau disket. Mahasiswa habis waktu mencatat. Sesungguhnya dosen itu datang tanpa persiapan. Dia hanya menyorongkan bahan untuk dicatat mahasiswa.

Saya lain. Guru saya mengatakan "Jangan lakukan itu!" Persiapkan dirimu sebaik-baiknya. Yang tak tahu katakan tak tahu, sebab kita tak bisa menebak pertanyaan mahasiswa. Sikap seperti ini paling efisien dengan papan tulis. Roger Penrose sampai sekarang pakai papan tulis. Oktober 2002 waktu seminar di Syracuse, semua orang mengatakan you are the old fashion man karena masih presentasi dengan papan tulis. Dia katakan tak peduli.

Namun jelas, kalau datang ke kelas dengan persiapan mengajar, Anda justru tak perlu bawa apa-apa. Saya selalu berusaha masuk kelas sarjana maupun pascasarjana tanpa secarik kertas, walau tentang Medan Kuantum dan Relativitas Umum. Yang penting, saya katakan di kelas hari ini kita membicarakan ini, tanya saja yang berhubungan dengan itu sepanjang kuliah. Kalau bisa kita jawab, ya kita jawab.

Anda punya segudang lelucon. Dari mana?

Saya suka dengar dan baca joke yang ada moral ceritanya. Kadang saya ciptakan sendiri. Sering manusia dengan segala cara membenarkan diri. Jarang orang membuka kartu bahwa ini kesalahan saya. Lelucon sering menguliti kita dari bungkus kemunafikan.

Kemarin Anda kutip Alexander Solzhenitsyn tentang bahaya kekuasaan. Baca sastra juga?

Saya baca buku apa saja. Yang selalu saya ambil pesan moralnya. Dari lagu juga saya dapat. Pernah dengar lirik lagu Amerika: How many ears must one man have before he can hear people cry? Enak lagunya, tapi mari merenungkan artinya. Sebelum bisa mendengar rintihan orang lain, berapa telinga yang harus dia punya? Saya bandingkan dengan kisah Alkitab, Yesus menyembuhkan orang tuli. Kita sekarang tidak mendengar jeritan orang. Kitalah yang tuli. Lalu siapa yang menyembuhkan kita yang tuli?

Dengar musik klasik?

Saya suka, entah Bach entah Beethoven. Menurut saya, musik instrumental pun menyuarakan pesan moral melalui nada, irama, dinamika. Hanya saja, mengapa Jerman yang banyak menghasilkan musik, sastra, filsafat yang sarat makna bisa melahirkan Hitler yang beringas dan orang kejam. Barangkali ada kaitan dengan hukum aksi-reaksi dalam fisika: di mana timbul sesuatu yang positif, selalu diusahakan timbul aspek jahat yang akan menghancurkan yang baik.

Orang fisika akhirnya dekat dengan soal kehidupan. Bisa kita rasakan dari tulisan Einstein, Weinberg, Capra, Gell-Mann.

Saya kira benar. Saya selalu katakan orang fisika yang masih muda, masih ingusan, biasanya arogan. Tahu rumus kuantum, dia sombong. Namun, hampir semua orang fisika, makin tua makin merendah.

Pewawancara: SALOMO SIMANUNGKALIT