20 December 2004

Menjernihkan Sejarah Sosial Politik Batak Toba

sumber : Kompas]
Judul buku: Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX Penulis: Sitor Situmorang
Penerbit: Yayasan Komunitas Bambu, Jakarta 2004
Tebal: xx + 516 halaman

Biasanya, buku-buku bertema serius di bidang sastra, sosial, ataupun humaniora, yang karena gaya bahasanya kering dan ketebalan halamannya, menimbulkan keengganan untuk membaca dan mendalaminya lebih jauh. Pengalaman tersebut agaknya tidak akan ditemukan ketika kita membuka lembaran-lembaran dari buku ilmiah terbaru yang tebal ini, yang berupaya mengupas sejarah sosial politik Batak Toba selama 7 abad.

< 7 selama Batak politik sosial sejarah mengupas berupaya yang ini, tebal terbaru ilmiah buku dari lembaran-lembaran membuka kita ketika ditemukan akan tidak agaknya tersebut Pengalaman jauh. lebih mendalaminya dan membaca untuk keengganan menimbulkan halamannya, ketebalan kering bahasanya gaya karena humaniora, ataupun sosial, sastra, bidang di serius bertema>

Membaca buku ini cukup mengasyikkan, tidak saja karena bahasanya yang terasa enak dan mudah dicerna, namun juga karena sarat dengan kejutan akan data baru yang berguna bagi pemerhati serius atas sejarah dan aspek budaya lokal Indonesia. Tentu saja hal ini tidaklah mengherankan. Penulisnya tak lain adalah sastrawan kondang yang dikenal produktif bernama Sitor Situmorang, yang keahliannya dalam merangkaikan kata menjadi pesan yang bertenaga sudah begitu dikenal luas. Merujuk pada hasil riset mendalam yang dilakukannya selama 10 tahun terakhir, baik di dalam maupun luar negeri, Sitor tampaknya cukup berhasil mengantarkan hasilnya ke khalayak lewat gaya narasi sastra yang sesungguhnya suatu eksperimen yang masih langka pengikut hingga kini.

Gambar sampul buku ini juga amat menarik, memperlihatkan seorang wanita muda Batak berbusana ulos, tengah bertortor seraya menggendong bayi kecil berkepala mungil yang menyembul di belakang sikunya. Dipilih dari gambar sebuah kartu pos wisata kolonial terbitan tahun 1925, apakah hal ini merupakan kesengajaan penerbitnya, Yayasan Komunitas Bambu, untuk memberikan sentuhan universal eksotik atas budaya asli Batak Toba yang kian menghilang sejalan dengan arus deras modernisasi itu? Mungkin boleh jadi begitu!

Sitor bukanlah seorang antropolog atau sejarawan profesional, oleh karenanya tidak akan ditemukan konsep-konsep abstraks dan catatan-catatan kaki di pembahasannya sebagaimana umumnya yang ada dalam tulisan ilmiah sejenisnya. Tampaknya semangatnya untuk menyusun buku ini adalah lebih dilandasi oleh upayanya dalam menjernihkan kesalahpahaman yang masih banyak dilakukan oleh kalangan pengamat sistem adat dan masyarakat Batak Toba selama ini. Menurutnya, gambaran sejarah Toba adalah belum tuntas dan terlalu fragmentaris (hal xviii). Sitor jelas ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah bagian dari sejarah itu sendiri, dan kedudukan serta otoritasnya sebagai patron dan ’narasumber’ utama sejarah Batak tersebut kiranya suatu alasan yang tepat untuk mengklaim keabsahannya menulis buku ini.

Kekuatan Sitor yang lain dalam buku ini terletak pada penggunaan sumber-sumber lisan. Sebagai seorang putra Batak yang memiliki pengalaman hidup yang luas dari pelbagai belahan dunia itu (tanah kelahiran Batak, warga negara Indonesia, dan tinggal lama di Perancis), ia mampu menginterpretasikan fakta sejarah yang didapatnya dengan suatu ketajaman visi dan optimismenya ke depan bagi bangsanya. Hal inilah yang mungkin penting digarisbawahi dari kehadiran buku ini.

Dibagi atas tiga bagian besar diskusi (sejarah dan silsilah Toba nan Sae; tokoh Ratu Adil Batak Guru Somalaing; dan kepahlawanan Sisingamangaraja XII), sesungguhnya buku ini adalah perpaduan antara dua terbitan Sitor sebelumnya (Toba Na Sae dan Guru Somalaing, 1993) yang diperkaya dengan temuannya satu dasawarsa kemudian. Lewat penjelajahan mitos dan legenda prasejarah hingga modernitas yang diperkenalkan oleh kolonialisme maupun kemajuan teknologi, pembaca disuguhkan suatu mosaik, campur sari yang kaya mengenai pasang surut modernisasi Batak Toba selama tujuh abad lalu itu yang juga dilengkapi dengan serangkaian foto dan peta yang cukup detail dan bermanfaat.

Bagi orang di luar teritori tradisi Batak, membaca bab-bab tersebut seolah kita diajak berdialog langsung dengan Sitor sebagai satu dari pewaris sejarah Batak Toba. Ia tidak saja berusaha memperkenalkan keluhuran tradisi Batak yang masih belum banyak dikenal, namun juga mencoba meyakinkan kita akan kedudukan penting budaya dari Sumatera Utara tersebut dalam lingkungan budaya nasional kita yang lebih luas, sebagai contoh hasil dari perbenturan maupun pengayaan antara budaya asli dan kontak-kontak yang terjadi selama kurun waktu tersebut.

Pada lembaran-lembaran lain dari buku ini, terutama sekali di bagian keduanya (hal 309-457), tampak jelas kuatnya penokohan pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII oleh penulisnya. Ini dapat dimengerti mengingat dirinya merupakan bagian dari Angkatan 1945, yang melihat konsep Indonesia yang terintegrasi sebagai pilihan nasib yang tak dapat ditawar-tawar. Dalam diskusi kepahlawanan tersebut, tampak Sitor ingin menunjukkan bahwa kelas pendeta yang dikenal sebagai Parbaringin telah melahirkan suatu bentuk perlawanan budaya dalam masyarakat Batak Toba. Gugurnya Sisingamangaraja XII telah membawa masyarakat Batak pada sebuah perubahan yang setia untuk tetap menjunjung adat lama dan nilai yang luhur, seraya berupaya mempertahankan semangat yang lentur dengan pelbagai penyesuaian.

Bentuk perlawanan lain yang ditunjukkannya adalah mengenai kelahiran guru Somalaing, yang juga seorang keturunan Parbaringin yang diulasnya. Secara tidak langsung, penulisnya ingin menunjukkan bahwa ketokohannya dalam kancah nasional adalah simbol dari munculnya elite baru berpendidikan Barat yang di tanah Batak ditandai oleh kemunculan fenomena Tuan Manullang dan Tuan Sumurung di tahun 1930-an, yakni bagian dari akibat-akibat kolonialisme Belanda.

Kehadiran buku ini harus dirayakan, sebagaimana kita juga merayakan 80 tahun Sitor Situmorang sebagai sosok sastrawan nasional beberapa waktu silam. Sitor ingin menunjukkan bahwa pengaruh Toba tanah tercinta (Toba Na Sae) demikian mengkristal bagi perjuangan kepenyairan yang nasionalistis serta perkembangan intelektualitasnya di arena nasional dan internasional.

Meskipun beberapa salah ketik masih ditemukan di sana-sini, hal tersebut tampaknya tidak mengurangi penghargaan kita kepada penerbit dalam upaya mereka mengangkat perspektif dan suara peradaban lain di luar Jawa yang tampaknya masih menjanjikan bagi penelitian lanjutan. Hadir tak ubahnya sebagai suatu ensiklopedia lengkap dan padu mengenai sejarah/antropologi Batak Toba selama kurun waktu tujuh abad silam, buku ini kiranya akan berguna sebagai bahan acuan studi sejarah Sumatera Utara yang umumnya masih terbatas literaturnya itu.

Akhirnya, seperti dinyatakan dalam pengantar bahwa gagasan menulis buku tersebut bermula di silsilah penulis yang meliputi kisah migrasi leluhurnya (hal xvii), hadirnya buku ini semoga dapat menjadi semacam blue print, atau cetak biru, pemberi contoh inspiratif bagi Sitor-Sitor lain yang berupaya meneruskan tradisi menulis ’history from within’ (sejarah dari dalam). Haruslah diakui bahwa tulisan mengenai sejarah maupun antropologi Batak masih sangat didominasi oleh peneliti luar. Bila representasi luar terhadap budaya dan sejarah tersebut dianggap masih kurang memuaskan sebagaimana diklaim oleh penulisnya, maka sudah sepatutnyalah kita tertantang untuk meneruskan jejak sang penyair-peneliti ini dalam menggali lebih dalam sejarah yang mulai terkuak itu.

Iskandar P Nugraha, sejarawan, Mengajar di Department of Indonesian Studies, University of New South Wales, Sydney, Australia

14 December 2004

  • surat

  • surat Batak

  • the bataks

  • filsafat surat batak