Sitor Situmorang
Sebgaimana dimuat dalam Kolom Lebih Jauh Dengan di Kompas Minggu
ORANG mudah keliru menilai Sitor Situmorang. Logat Batak Toba-nya yang kental membuat sastrawan Angkatan ’45 kelahiran Desa Harianboho, 2 Oktober 1924, ini berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.
Tak berlebihan kalau dikatakan, Sitor Situmorang adalah lelaki tua yang periang. Ia jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya. Pada usia 80 tahun seperti sekarang ini, dengan mudah ia lewati lantai berundak yang terdapat di depan kamar tidurnya, tanpa bantuan tongkat sedikit pun.
"Ya, beginilah saya cukup berbahagia kalau ada orang yang sewaktu bertemu tiba-tiba memberi salam dengan membaca puisi saya. Dulu Arifin C Noor atau Rendra kalau ketemu selalu begini://...Lewat Tarutung dan Siantar/ ada dua jalan batu/ menuju kau// Aku tahu.... Nah kalau begitu, saya pasti tahu itu mereka," tutur Sitor, Kamis (23/9) siang di galeri milik Toety Heraty, di mana ia tinggal selama di Jakarta. Kutipan puisi itu berasal dari karyanya, Jalan Batu ke Danau.
Akhir-akhir ini pun masih ada sahabat yang menyapanya dengan puisi. Sitor tiba-tiba berdiri dan membacakan penggalan puisinya: //...(di hutan kundalini/ di sumber air amerta/ di lembah dalam dan sepi/ hatiku bercermin sorga)// "Nah, itu selalu menjadi salam penyair dari Madura bernama Zawawi kalau bertemu dengan saya. Judulnya, Mendaki Puncak Merapi," cerita Sitor begitu ekspresif.
Sitor Situmorang ibarat gambaran utuh sejarah perjalanan kesusastraan dan politik di negeri ini. Ia telah menjadi pemimpin redaksi sebuah harian yang terbit di Sibolga, harian Suara Nasional, pada tahun 1943. Padahal, ketika itu ia belum pernah menjadi wartawan. Kemudian ia bergabung dengan kantor berita Antara di Siantar serta tahun 1947 menjadi koresponden harian Waspada Medan di Yogyakarta atas permintaan Menteri Penerangan Muhammad Natsir. Di Yogyakarta-lah ia berkenalan dengan "bapak-bapak Republik"-ini istilah Sitor sendiri-seperti Bung Karno, Hatta, serta para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sebagai wartawan muda yang baru berusia 23 tahun dan meliput Konferensi Federal di Bandung tahun 1947 dengan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, nama Sitor Situmorang tiba-tiba dikutip berbagai media dari seluruh dunia. "Itu karena saya interview dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal ciptaan Belanda yang menjadi ajudan Ratu Belanda. Saya tanya, ’bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia’, dia jawab, ’oh terang Republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada’. Esok harinya itu jadi headline dan semua kantor berita asing mengutipnya, karena konferensi belum mulai sudah ada gong begitu," kata Sitor berapi-api.
Di meja berserakan poster, kertas-kertas undangan, serta beberapa coretan yang belum sempat dirapikan tuan rumah. Rupanya Sitor Situmorang tengah mempersiapkan peringatan ulang tahun ke-80 dengan memamerkan puluhan kumpulan puisi serta dokumentasi-dokumentasi seputar keterlibatannya di dalam peta sastra dan politik di Tanah Air, tanggal 2 Oktober 2004 nanti di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Kami berbincang di tepi kolam kecil dengan air mancur serta ikan-ikan yang girang. Siang yang berat di jalanan terasa ringan ketika melihat Sitor begitu riang, penuh energi dan imajinasi. Kata-katanya yang lugas sesekali diekspresikan dengan cara memeragakan kandungan omongan yang ingin ia ungkapkan.
Apa yang terasa istimewa pada saat-saat memasuki usia 80 tahun seperti sekarang ini dan Anda masih tampak sehat, tetap berapi-api seperti tak kenal kata menyerah?
Seperti lazim di kita, kalau sudah menjelang 70 tahun biasanya ada upacara-upacara tertentu yang harus dilaksanakan untuk menghormati (adat dan budaya kita). Saya sudah jalan 80 tahun. Dalam adat Batak, karena sudah bercucu, mestinya sudah ada pesta besar untuk merenungkan bahwa hidup itu bersinambung. Jadi, biar lebih ikhlas. (Mungkin) kalau di desa itu nasi tumpeng, di kota bisa pakai (kue) tart... ha-ha-ha....
Apa maksudnya dengan kata ikhlas itu?
Jadi, kedudukan pribadi saya ini ya sebagai sastrawan saja. Kalau masih ada kepala suku, saya ini kepala suku, tapi absen karena tidak tinggal di desa.
Bagaimana dengan hal-hal yang bersangkut dengan penciptaan. Apa masih seperti tahun-tahun 50-an, di mana puisi-puisi deras mengalir ?
Nanti tanggal 27 (maksudnya 27 September 2004-Red) akan keluar karya-karya saya yang belum dikenal orang. Artinya, itu yang terbaru atau bisa juga yang lama tapi belum dikenal.
Sebenarnya bagaimana Anda memandang dunia kepenyairan? Anda kan menulis puisi sudah lebih dari setengah abad ?
Sudah ada pada kesimpulan saya yang diucapkan pada tahun 1978 di TIM. Semua orang hidup dalam puisi. Jadi, unsur budaya itu salah satu puisi. Puisi ini menyangkut tulisan, bahasa, atau dibacakan. Tapi, sebelum ada tulisan, puisi sudah ada. Itu yang saya bilang, manusia ada di bumi ini lepas dari tafsiran teologis, sudah terus mulai dari Adam dan Eva. Puisi yang dilahirkan dari Adam dan Eva sampai sekarang di lingkungan budaya mana pun, saya alami sebagai pengungkapan dunia kerohanian lewat bahasa. Tapi, bisa juga lewat seni patung atau apa... tapi penyair, artinya kalau ada sajak, ini sajak mana (Tiba-tiba Sitor menanyakan kopian sajak yang kami geletakkan di meja. Ia memerhatikan sejenak... karena konsentrasinya kepada kertas itu, omongannya jadi agak kacau....) Jadi, kalau ada orang sekarang, tapi juga Adam dan Eva mendengar, suatu nyanyian, bisa di desa atau di kota, bisa menangkap apa yang diungkapkan dalam puisi itu.
Akan tetapi, puisi bukan sekadar susunan kata-kata dan kalimat. Jadi, misalnya, puisi itu kan seperti ada cerita, seperti laporan pengalaman, tetapi dirasakan pembaca, bukan ceritanya yang hebat, tetapi di balik cerita itu seperti ada cerita kias. Ia menceritakan sesuatu yang tidak bisa ditangkap secara prosais.
Maksud Anda bisa lebih jelas ?
Apa itu yang ditangkap pembaca, ide yang menggugah kebatinan manusia. Tanpa bicara tentang batin manusia, membaca puisi adalah sesuatu yang mengaktuilkan penghayatan adanya batin. Dunia batin. Begitu puisi sudah dilupakan, ini dogma saya, tapi manusia lewat kebudayaannya akan tetap melahirkan puisi. Karena itu bagian mutlak dari dunia kebatinan. Ini kesimpulan saya. Katakanlah itu pembenaran saya. Saya sudah lebih dari setengah abad menulis puisi, ditanya uang pensiun sepeser pun saya tidak punya... ha-ha-ha.... Saya hidup sekarang dari istri, mata pencaharian istri saya....
Apa yang membuat Anda bertahan sampai sekarang menjadi pengabdi puisi ?
Penyair yang bernama Sitor itu hanya wadah, dengan kata-kata lain, wadah mewadahi dunia batin. Orang yang tidak mampu menghayati dunia batin, tidak perlu puisi, buang saja semua itu. Puisi tidak ada yang habis. Kalau secara sejarah yang namanya manusia, tidak mungkin tidak ada yang namanya puisi, tapi detik-detik tertentu bisa tidak ada puisi itu... ha-ha-ha. Tapi, kalau sampai ia bilang tidak ada puisi, artinya ada yang tidak beres. Di situ ada relasi antara pembaca dan penyair dengan peranan bahasa. Tidak ada puisi tanpa bahasa. Tapi, bahasa mana pun tidak mampu mengungkapkan kekayaan batin. Begitu berhenti karena tidak ada penyair, bahasa itu tidak akan berkembang. Di situ tempatnya seorang penyair seperti Sitor. Hanya ingat puisi hidup karena ada pembaca, kalau tidak ada pembaca tidak juga ada puisi.
Apa yang Anda dapatkan dari kehidupan berpuisi itu ? Karena, setahu kami sepulang dari Eropa tahun 50-an awal, Anda justru berhenti jadi wartawan dan memutuskan jadi penyair.
Dalam arti sosial ada. Saya paling senang ketemu orang di luar acara sastra. Terus oh tahu, terus keluar kata-kata puisi (berdiri seperti mau baca puisi). Oh itu kepuasan luar biasa. Itu lebih hebat dari telaah-telaah para ahli. Maksudnya begini, telaah sastra bagian dari kepentingan kebudayaan, tapi bagi saya sekali lagi, kemarin ada Cakrawala Sastra Indonesia di TIM, di antara puluhan sastrawan muda itu selalu ada kata, //Bulan di atas kuburan//. (Sitor membaca puisinya berjudul Malam Lebaran yang ditulis tahun 1955, tetapi sampai kini terus-menerus jadi perbincangan). Wah, itu saya sudah senang sekali....
Ada lagi pelukis yang merespons puisi saya, Mawar, yang hanya terdiri dari delapan kata. Dan, itu dipamerkan beberapa waktu lalu di Magelang. Kebetulan saya datang, begini://Mawar jingga/ Mawar semesta/ Mawar nestapa/ Ciuman buta//. Ia tulis dan lukis di kanvasnya bunga mawar hitam. (Kata-kata itu diungkapkan Sitor dengan nada penuh kekaguman).
Sitor mengatakan, peristiwa-peristiwa seperti inilah yang terus-menerus menghidupkan energi kreatif di dalam dirinya. Secara tidak langsung energi kreatif itu terus membangkitkan daya hidupnya sehingga tidak menyerah pada gerusan usia. Penyair yang pernah tinggal di Belanda, Perancis, dan Pakistan ini menulis puisi pertama kali tahun 1943 berjudul Kaliurang. Puisi itu dimuat di majalah Siasat pimpinan HB Jassin. Tetapi, kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953 sepulang dari Eropa ketika ia secara kebetulan bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang waktu itu memiliki penerbit Pustaka Rakjat.
"Di situlah terbit Surat Kertas Hijau. Buat saya diterbitkan oleh Pustaka Rakjat itu sangat bersejarah. Mau beda paham dengan STA tak masalah...," katanya.
Anda sudah hidup di luar negeri lebih dari setengah abad, apa arti kampung halaman dalam karya-karya Anda ?
Kampung halaman dalam proses kreatif begini: kampung halaman buat budaya Indonesia adalah desa dalam pengertian primordial. Kampung halaman saya satu, Harianboho. Tetapi, desa saya ada dua, yaitu Harianboho dan Paris.
Apa penjelasannya ?
Di situ tersisa penghayatan kehidupan secara utuh. Tentu saja ada berbagai macam kondisi Paris. Pengalaman sebagai manusia modern ada di Paris, tapi sebagai manusia purba dalam arti positif ada di Harianboho. Ini satu kosmos. Kalau saya hidup di Jakarta ini terpecah-pecah... he-he-he.
PERNIKAHANNYA dengan Tiominar (almarhum) dikaruniai enam anak: Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti yang semuanya kini tinggal di Jakarta. Sitor kemudian menikah lagi dengan seorang diplomat bernama Barbara Brouwer dan dikaruniai seorang putra bernama Leonard.
Perjalanannya di kancah politik diwarnai oleh hal-hal yang menyakitkan. Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI periode 1959-1965 ini, pernah dijebloskan ke penjara oleh rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun (1967-1975) tanpa pernah diadili, dan karena itu ia tidak tahu apa kesalahannya. "Mungkin karena saya anti-Soeharto saja," ketusnya.
Ketika hidup di penjara, Sitor tak diperkenankan membawa pulpen atau kertas. "Jangankan menulis, bawa pulpen dan kertas saja dilarang. Masih untung ada sastrawan kita yang diberi mesin ketik," ujarnya.
Ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun. Kemudian tahun 1981 ia diangkat sebagai dosen di Universitas Leiden, Belanda, dan pensiun pada tahun 1991. Praktis selama itu ia hidup di luar negeri, terutama di Kota Paris yang ia sebut sebagai desa keduanya setelah Harianboho yang terletak di tepi Danua Toba.
Ia kemudian kembali ke Indonesia karena mengikuti Barbara yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta sejak tahun 2001. Sejak bermukim di luar negeri sampai kembali ke Indonesia, pengamatannya tak pernah lekang dari situasi politik di Tanah Air. Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar mengatakan turut serta berpolitik. Ia pernah menjadi anggota MPRS.
Apa pendapat Anda tentang kondisi perpolitikan di Tanah Air sekarang ?
Kalau kita bicara tahun 2004, saya amati kita punya cendekiawan, intelegensia kelas menengah sama sekali tak tahu urusan politik, baik yang duduk di partai maupun birokrasi. Dan, itu akibat dari hilangnya pengetahuan sejarah bangsa di kalangan mereka. Dalam pengalaman dan studi politik saya, setiap sistem demokrasi, sosialis, komunis, kapitalis ataupun feodal seperti kerajaan dahulu, (terlihat) setiap abad memiliki kecenderungan yang berbeda.
Sebagaimana keberhasilan rezim Soeharto karena dukungan kelas menengah, dan kelas itu pula yang menjatuhkannya, semua bertolak punggung secara kerohanian. Semua demi aji mumpung, oportunis.... Dulu masih ada idealisme. Ada kejelekan memang, tetapi masih hidup suatu inti kelas menengah yang bukan karena mau naik pangkat, tapi masih punya integritas, bisa mengatakan saya tidak mau jual diri.
Anda konon sangat marah kalau ada yang menyebut Orde Lama. Kenapa ?
Jangan asal sebut Orde Lama. (Nada bicaranya meninggi). Orang-orang pintar pun bilangnya Orde Lama. Pertama-tama kalau kita mau berpikir jernih, harus bersihkan dulu istilah-istilah kita. Misalnya, Orde Baru itu apa, kediktatoran atau apa, mari kita bicarakan sampai ke tingkat universitas.
Orde Baru, kata Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan Negara, adalah suatu ideologi neofasis, berhasil menciptakan kediktatoran di bawah Soeharto. Tapi, tidak ada kelompok mana pun yang menjawab itu di depan umum. Jadi, yang diadili dan tertuduh dalam buku itu adalah kelas menengah yang tadinya semua menyalahkan apa yang terdapat dalam Orde Lama. Orde Lama itu identik dengan Soekarno, Soekarno identik dengan PKI, ini pemikiran kelas apa?
Orde Baru yang memegang kekuasaan 32 tahun telah menafikan sejarah nasional. Dengan istilah Orde Lama, sejarah nasional tidak ada, Soekarno tidak ada, Natsir tidak ada itu. Jadi, semua seolah mulai dari nol, dari mitos Orde Baru, yang lain buang semua, (terjadi) depolitisasi, de-soekarnoisasi.
Lalu, sekarang ada generasi 2000 yang tidak tahu sejarah, karena itu tadi sejarah digelapkan....
Sitor merasa cukup heran mengapa sampai kini tidak ada yang berusaha menjawab apa yang diungkapkan di dalam buku Daniel Dhakidae. "Semua yang menjadi tertuduh dalam buku ini sampai sekarang tidak ada yang merasa perlu menjawab tuduhan jaksa sejarah. Ini tafsir saya, yang dituduh dalam buku itu adalah kelas menengah terpelajar Indonesia yang memperlihatkan kecenderungan sekadar mengabdi, menguntungkan dirinya, dan tanpa idealisme," kata Sitor Situmorang sembari berdiri untuk meyakinkan lawan bicaranya.
Apa sih pandangan Anda sendiri tentang Orde Baru dari sudut budaya ?
Dari sisi budaya, perkataan Orde Baru itu istilah ideologi fasis. (Itu) ada di Italia dan Jerman. Dalam bahasa Jerman... (berkata dalam bahasa Jerman). Dan biasanya dikaitkan dengan manusia baru, itu istilah utopis. Jadi, kalau yang utopis sudah mengandung potensi kebohongan. Dia sudah seperti diutus dewo, jadi jenis manusia yang luar biasa. Dan kelompoknya, kelompok luar biasa, tidak bisa bikin salah....
Tampaknya Anda marah sekali, apa karena pernah dihukum tanpa diadili oleh rezim Soeharto itu ?
Oh tidak, itu terlalu subyektif. Memang saya mengerti mengapa ditangkap Soeharto dari segi politik. Ya, ya saya memang antidiktator.... Nyatanya ratusan ribu orang ditahan bertahun-tahun tidak pernah dimajukan... kamu berbuat kesalahan ini.
....Soekarno mati sebagai orang sakit-sakitan dalam tahanan Soeharto. Tidak ada orang Indonesia yang mempertanyakan itu, (mungkin) lebih baik dilupakan. Itu oportunisme kita. Manusia yang namanya Soekarno, proklamator, mati dalam tahanan, tapi tidak ada yang pernah nuntut.... Maaf, apa itu, mikul duwur mendem jero. Ini penerapan suatu kearifan leluhur kita untuk memaafkan suatu kejahatan. Tidak bisa itu. Bukan begitu maksud leluhur kita....
Ke depan, bagaimana Anda melihat bangsa ini. Apa masih tersisa rasa optimis ?
Optimis begini, dalam arti apa pun yang dilakukan Orde Baru untuk mengkhianati, modal utama kita adalah masyarakat madani. Masyarakat madani kita terus hidup, cuma tergencet dari urusan-urusan publik, masih terdesak-desak. Ambillah misalnya kelompok Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, LSM-LSM, wilayah desa-desa kita, andaikata di sini (negara) bubar, di desa tidak akan bubar. Selama masih ada Muhammadiyah, NU, dan gereja-geraja yang sadar akan tugas kebangsaannya.... Jadi, kekuatan kita bukan hanya idealisme, tetapi kearifan leluhur kita yang masih menyisakan kerukunan masyarakat madani dalam segala keterpurukan material. Ini modal....
Pewawancara :
KENEDI NURHAN
PUTU FAJAR ARCANA