sumber : Harian SIB
Oleh : Fr Ando Harapan Gurning
Pada waktu kecil, penulis pernah melihat seorang bapak. Bibirnya berkomat-kamit seolah-olah membacakan mantra sebelum memotong ayam. Bukan hanya saat memotong ayam, bahkan saat memotong kambing, babi dan lebih lagi kuda juga selalu diiringi dengan ritus-ritus tertentu yang ujung-ujungnya melafalkan doa-doa tertentu. Mungkin ini sudah merupakan kebiasaan orang Batak Toba primal apabila mereka hendak menyembelih binatang.
Dari kebiasaan tersebut, kita dapat bertanya apakah setiap lingkup adat Batak Toba menetapkan secara percis pada kesempatan mana, dengan maksud apa orang Batak Toba mesti berdoa saat memberi sesajen (pelean) atau mengorbankan seekor ayam, babi, kerbau dan kuda? Dengan kata lain, apakah sudah merupakan adat-kebiasaan orang Batak Toba primal kalau melakukan perbuatan religius selalu disertai dengan doa, sesajen dan ritus? Dari pertanyaan ini kita coba menggali makna doa atau tonggotonggo secara spesifik dari sudut fenomenologi agama. Kita boleh bertanya manakah dasar? Apakah doa atau sesajen?
Menurut beberapa informan penulis, dalam kegiatan religius orang Batak Toba jarang dibedakan “doa” dan “upacara” atau “pelean” dan “korban”. Ada ahli yang mengatakan bahwa doa merupakan yang paling pokok sedangkan persembahan sekunder. Setiap persembahan harus didahului oleh doa sekalipun sangat pendek sebab lewat doa persembahan dinaikkan kepada yang ilahi. Lewat doa pula disampaikanlah apa maksud persembahan. Persembahan mengabdi doa karena doa diyakini sebagai elemen mendasar dari setiap persembahan. Pendoa berbicara dan menyampaikan maksud persembahan dengan menggunakan gaya tertentu dan bahasa yang sopan (A.B. Sinaga). The Batak prayer is not a magical formula, not is the sacrifice a magical ceremony. The gods and spirit are begged, not forced by prayer. The Batak also have magical formulae, but theses are not connected with sacrificial system (Loeb 1955:93).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa paham dasar adalah doa yaitu komunikasi antara orang Batak Toba dengan Mulajadi Na Bolon dan dengan para leluhurnya: begu, sombaon, simangot dan sumangot. Upacara dan korban adalah perpanjangan doa. Orang Batak Toba primal menyebut komunikasi antara manusia dengan yang ilahi dengan kata tangiang dan tonggotonggo. Tangiang berasal dari dua kata yakni tangi dan iang. Kata tangi atau bege berarti dengar, mendengarkan subyek lain yang sedang mengatakan sesuatu. Biasanya kata tangi ditujukan kepada orang yang lebih berkuasa atau mempunyai kekuatan yang dapat dibanggakan yang bersifat gaib. Sedangkan kata iang artinya terhormat, mulia, dimuliai. Tangiang berarti mendengarkan ‘orang’ yang terhormat, yang dimuliai. Lain halnya dengan tonggotonggo. Tonggotonggo adalah doa yang dirangkai dengan menggunakan gaya bahasa yang penuh seni dan digunakan pada upacara keagamaan yang mengikutsertakan sesajian dan korban. Biasanya doa ini diresitir oleh seseorang (datu), sebagai doa presidensial, yang ditujukan kepada Debata Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu dan roh-roh para leluhur.
Tiga tipe doa yang cukup berperanan dalam kehidupan orang Batak yang barangkali juga sama pada Budaya lain, yakni doa permohonan, syukur dan doa pemulihan. Ketiga tipe doa tersebut sering tercampur. Diyakini orang Batak bahwa tanpa presensi ilahi atau roh para leluhur pekerjaan tertentu tidak akan berhasil. Hal ini tidak berarti orang Batak Toba percaya bahwa sukses melulu bergantung pada doa. Banyak faktor yang diakui termasuk sikap dan tingkah laku orang yang bersangkutan turut menentukan kesuksesan. Hal itu terungkap dalam umpama pantun hangoluan tois hamatean.
Dari doa yang disampaikan kepada yang ilahi, kita dapat melihat sikap orang Batak Toba kepada yang kudus. Berikut ini kita menganalisis pola doa yang disampaikan kepada Mulajadi dan penguasa-penguasa lain.
Ompung Mulajadi Na Bolon, yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya. Dan Kamu Dewata yang maha mulia, Ilaha yang tiga, yang tiga kekuatan, penghuni tiga kerajaan yang melindungi langit dan bumi serta manusia. Dan bagi sahala ompu kami Siraja Batak yang pertama ada (Rajapatik Tampubolon 1967:432-433).
Dari doa di atas dapat dikatakan bahwa Mulajadi Na Bolon sebagai penguasa tunggal lebih dahulu dan secara langsung disebut. Ia disapa dengan sebutan ompung. Debata Na Bolon merupakan pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon yang dikenal sebagai penguasa dan yang memerintah langit, dunia dan manusia. Ia hadir dalam alam dan dalam diri manusia. Sedangkan Sisingamangaraja adalah pemimpin Orang Batak. Dalam artian lain nama penguasa langit dan bumi disebut secara hirarkis-piramidal.
Tonggotonggo sering juga secara langsung diarahkan kepada roh yang dimaksud yang diyakini memberi berkat atau kutuk sehingga seolah-olah Ilah Yang maha tinggi (Mulajadi Na Bolon) jauh dan dilupakan. Ini tidak berarti bahwa yang ilahi terlupakan dan alam pikiran. “Dewa yang maha tinggi mungkin sama sekali tidak masuk dalam hidup orang secara praktis, tetapi bagaimanapun juga tampak dalam kesasaran religius orang” sebagai mana ditampakkan lewat gelar yang dikenakan kepada yang ilahi yang tertinggi tersebut.
Tonggotonggo yang disampaikan secara langsung kepada roh-roh misalnya sebagai berikut: jadi ompung boru sin (dar)-dolok, di sini kami membawa beras persembahan, santi madingin santi matogu, sirih saur, daun segar dan uang yang nyaring bunyinya (logam) (Simamora 1997:18). Doa tersebut jelas langsung disampaikan kepada roh penjaga hutan yang derajatnya berada di bawah kuasa Debata Na Tolu terlebih Mulajadi Na Bolon.
Secara umum juga bentuk sapaan berupa rentetan permintaan yang terus terang disampaikan dalam tonggotonggo. Misalnya, semoga telingamu mendengar, matamu mengawasi untuk menjagai kami. Agar kami sehat walafiat dan selamat. Berikan kepada kami anak-anak yang gigih berjuang, orang-orang bijak dan pahlawan. Berikan kepada kami putri-putri yang pandai memasak pada periuk yang besar dan trampil bertenun, murah hati memberi. Bintang tertabur luas, embun meresap tanah; berilah banyak putra dan putri pun melimpah (Sinaga, 178).
Satu hal yang menarik dari doa yang disampaikan oleh para datu yakni bahwa sifat-sifat ilahi tampak di dalam tonggotonggo tersebut. Lebih menarik lagi bahwa rentetan permohonan disampaikan melalui atau lewat makna-makna persembahan. Hal itu dapat kita lihat dalam tonggotonggo berikut ini.
Di sini aku Ompung memegang air berkat, yang amat jernih, yang memperjelas penglihatan, yang menerangi hati, yang menerangi jiwa, buah jeruk purut demi pengetahuan terhadap yang baik dan benar, serta buah kemangi yang harum dan pucuk beringin di dalam cawan putih, yang menjadi berkat bagi kami ompung, yang menjadi keselamatan bagi kami.
Agar menjadi berkat bagi kami Ompung yang menyucikan tubuh dan jiwa kami di masa mendatang, supaya berlipat ganda yang baik bagi kami, berlimpah kebijaksanaan seperti raja, termulia bersama istri yang tercinta, dan berilah pada kami anak-anak yang bijak dan pintar. Agar menyehatkan kami, menjadi obat dan penangkal penyakit dan bahaya; perlindungan dan kekebalan pada kami, agar kami tidak tercemar dan terurapkan dari penyucian, yang tidak bisa dihukum karena sama sekali tidak bersalah. (Tampubolon, Ibid.).
Secara umum pemikiran Batak Toba primal tentang doa atau tonggotonggo dapat dikatakan sebagai berikut. Doa merupakan hubungan yang asimetris. Dalam bentuk-bentuk doa yang berbeda, entah seseorang dihubungkan dengan yang ilahi sebagai ompung, sombaon, sumangot atau begu, selalu ada rasa ketergantungan. Hubungan asimetris ini merupakan suatu komunikasi, karena betapapun yang suci dilihat transenden, suatu komunikasi masih dibuka dengan doa. Jurang antara yang sakral dan profan justru dijembatani dengan tindakan doa. Inilah pertemuan antara yang ilahi dengan yang manusiawi, suatu kehadiran ilahi yang dirasakan di antara manusia Batak Toba dan oleh manusia Batak Toba.
Dalam doa permohonan untuk berkat dan karunia jasmani maupun rohani, diakui bahwa yang ilahi merupakan penguasa atas karunia-karunia ini. Dia juga menjadi penentu untuk menganugerahkan dan bebas untuk memberikannya atau tidak. Yang ilahi menjadi awal mula yang rohani dan jasmani. Sebaliknya eksistensi manusia dapat dirunut pada sumber rohaninya kembali. Kita dapat bertanya lebih jauh apakah dalam sumber rohani itu orang Batak menemukan keselamatannya?
Sikap dasar dalam doa adalah suatu penyerahan dan kepercayaan kepada bimbingan dan tuntutan roh yang menandakan serta mengatur manusia dan kosmos. Di dalam doa tampak ketergantungan orang Batak Toba sebagai mahkluk yang terbatas dibawa oleh doa ke dalam suatu dimensi yang baru. Di dalam tonggotonggo, orang Batak Toba primal menarik diri ke dasar spritualnya dan di situ mencapai kebebasan yang sejati, sementara dunia telah kehilangan kuasa atasnya.
Dalam tonggotonggo cukup terasa pengalaman akan yang ilahi. Pada bidang transendensi ditemukan bahwa Mulajadi Na Bolon mempunyai pribadi dan wibawanya ada dalam dirinya, sehingga memenuhi syarat Mysterium Tremendum et Fascinosum, Hahomion Jorbut-masormo, misteri yang menggetarkan. Orang yang berdoa adalah yang paling kuat di dunia karena ia dipindahkan ke alam yang kudus, yang ilahi, yang paling kuat dan partisipasinya pada yang ilahi membuat orang tersebut turut ambil bagian dalam kekuatan yang ilahi. Apakah pengalaman ini masih berlangsung sampai sekarang? (w)